Sabtu, 15 Maret 2008

PERKEMBANGAN TEATER DI TASIKMALAYA

Pertumbuhan Teater di kota yang mendapat julukan kota Puisi (Tasikmalaya), berdasarkan riset Prof.Drs. Saini KM., memang cukup menggembirakan dengan tumbuh kembangnya ekstra kulikuler di beberapa sekolal SMP dan SMA, namun dari balik itu semua, secara karya sulit ditemui adanya pementasan, sebagaimana pertanda sebuah proses/ peristiwa teater itu terjadi dalam sebuah kelompok teater yang dibangun. Hal ini bisa dirasakan dengan minimnya pementasan karya-karya siswa binaan yang di sekolah tersebut mengadakan ekstra kulikuler teater. Tentu saja hal ini bisa tercermin dari pementasan yang digelar di G.K. Tasikmalaya, sebagai pusat pementasan. Pun pada kelompok-kelompok teater yang sudah punya nama.
Ada apa dengan teater di Tasikmalaya? Apakah ruang diskusi teater sudah tidak menarik lagi untuk diwacanakan dan diapresiasikan? Ataukah para pembimbing guru ekstra kulikulernya sendiri kurang menguasai/ keterbatasan dari bahan ajar, sehingga siswa yang dibina merasa bosan dengan materi yang diberikan? Atau hal ini pun karena keterbatasan waktu para siswa yang harus membagi waktu dengan pelajaran lain, manakala teater hanya sebagai pelahjaran ekstra saja? Ataukah pihak sekolah kurang peduli pada managemen sebuah peristiwa pementasan teater, manakala dana yang dibutuhkan cukup lumayan besar dalam sebuah garapannya? Lalu apa fungsi pengajaran sastra drama bagi siswa? Dimanakah tersimpannya dana ekstra kulikuler pendidikan? Dan mungkin juga GKT nya sendiri sudah tidak layak pakai?
Terlepas dari rentetan pertannyaan di atas, berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh penulis, tentu saja hal ini pun merupakan tanggung jawab yang tidak bisa lepas dari DIKBUD itu sendiri, mengapa? Sedang maju mundurnya regenerasi bangsa, besar kecilnya terpangku pada tangan pemerintahan yang sedang memangku jabatan. Dan tentunya, PR bagi para pekerja seni, khususnya seni teater.
Bila merujuk pada riwayat pertumbuhan teater di Tasikmalaya, yang pertama kali kemunculan Teater diawali oleh DAMAS Tasikmalaya (1965 dengan pementasannya Gending Karesmen Galunggung Ngadeg Tumenggung yang bertempat di Karangresik, yang konon katanya para sebaian pemainnya, seusai mengadakan pentas, ada yang meracun, ketika kelompok ini pulang mentas di Jakarta) dan kesininya berdirilah Teater Epos (1970-an) yang digawangi oleh Bambang Arayana yang banyak juga mementaskan naskah teater, namun Kelompok epos tidak hanya bergerak dalam seni peran saja, ada juga seni rupanya, yang terfokus pada belajar melukis. Sejarah memang bukanlah sesuatu yang penting, bagi sebagian orang, namun dibalik itu, tidak akan terjadi perubahan kalau tidak ada sejarah. Manakala hal ini memunculkan kelompok Ambang Wuruk (1989), Dongkrak (1990), Front X Teater (1999) dan lainnya.
Antara bayang-bayang sejarah dan kenyataan hari ini, mungkinkah kota Tasikmalaya sudah melupakan falsafah orang sunda? "Ngalengkah ka hareup sa jeungkal, sedengkeun ngalengkah ka tukang sa deupa" dalam artian konteks, merosotnya perkembangan seni teater di kota ini, ataukah benar adanya surutnya popularitas teater di Tasikmalaya, disebabkan oleh beberapa pertanyaan di atas?
Namun kemunduran teater ini pun diimbangi dengan bentuk jenis kesenian lain, seperti seni beluk, angklung badud yang sebagai ciri khas kesenian Tasikmalaya. Atau hal ini akan menjadi lain cerita bila di kota ini muncul Dewan Kesenian Tasikmalaya, sebagai pemerhati dan penyuplai(penyalur dana dari pemerintah) untuk tumbuh dan berkembangnya seni tradisi dan modern dalam upaya melestarikan kekayaan budaya, sebagai aset bangsa? Mungkinkah?***

0 komentar: