Minggu, 21 Desember 2008

MONOLOG

ATAS NAMA DOA atawa SENYUM LASTRI
Karya: Lintang Ismaya


RUANG PENJARA. PESAKITAN TAMPAK TIDUR SEPERTI ANJING. DARI ATAS LANGIT-LANGIT JATUH BUKU DAN BOLPOINT MENIMPA MUKANYA. TERDENGAR SUARA SESEORANG: Besok, hari terindahmu, --menghadapi duabelas regu pasukan tembak. Tulislah biografi hidupmu, biar semuanya jelas. Siapa tahu kau jadi figure yang fantastic bagi generasi mendatang? ORANG ITU TERTAWA.

PESAKITAN BANGUN SECARA PERLAHAN-LAHAN. MELIHAT SEKITAR. MELIHAT KE ARAH SUMBER SUARA. MENGAMBIL BUKU DAN BOLPOINT. PESAKITAN TERTAWA LEPAS. BERNYANYI-NYANYI RIANG. SEPERTI MENULISKAN SESUATU DI DALAM BUKU TERSEBUT.

Seseorang datang dan pergi di kehidupanku. Seperti angin waktu yang kerap menyimpan ribuan rahasia. Begitulah adanya hidupku. Aku terbentuk. Terpatok. Terpenjara. Terkontaminasi. Terseok-seok. Menjadi sesosok diriku. Lahir dan tumbuh, sampai akhirnya terpatri di tempat ini. BANGKIT. MENCARI PUNTUNG ROKOK DAN MENYALAKANNYA. MEMAINKAN ASAPNYA. TERTAWA. MENARI-NARI KECIL BAK BALERINA.

Sejarah. Yap. Semua orang pada akhirnya sama; saling berebut tentang sejarah. Menuliskannya pada lembar demi lembar buku sejarah. Tanpa peduli ada yang membacanya. Bahkan tidak menutup kemungkinan, hanya dibaca oleh diri kita sendiri. SEPERTI MENDENGAR SUARA. Apa? Yap. Benar. Pendapat anda benar sekali? Bukankah di hadapan Sang Pencipta, yang kita sodorkan dan diperiksa adalah lembar demi lembar sejarah hidup dan kehidupan kita? Itulah fungsinya malaikat, sebagai asisten kita yang dianugrahkan dari Sang Pencipta. HENING SEJENAK. TIBA-TIBA SEPERTI MENGAMUK Asu. Bangsat. Apa peduliku dengan dogma-dogma? Ketika lonceng gereja berbunyi, tak ada lagi biara-biara suci. Tak adalagi nyanyian koor. Ketika gema adzan berkumandang, tak adalagi kiai yang membawa santri-santinya untuk berjamaah. LANTANG SUARANYA Aggggggggggh,… EMOSINYA MENINGGI. Ibuku, baru saja satu hari meninggal, bapaku sudah kawin lagi. Aku dan adikku ditendangnya dari rumah. Agama. Apa yang aku dapat dari pemahaman nilai-nilai religious yang ditanam sejak kecil oleh ibu dan bapakku? Sementara kelakuan bapakku tak ubahnya anjing! SEPEERTI MENDENGAR ORANG BERBICARA. LIRIK KANAN LIRIK KIRI. KEPALA DAN TUBUHNYA BERPUTAR-PUTAR. SUARA-SUARA ITU SEMAKIN TAJAM MENGHUJAMI PIKIRANYA “KASIH INSPIRASI MUSIK”. Diam! Tidak! Aku tidak sensitrif? Tapi aku bernbicara fakta. Jangan menghakimi aku begitu rupa? Ini urusan pribadiku. Apa hak kalian? Kalaulah ayah dan ibu tiriku Mati ditanganku, bukan semata-mata alasan klise, balas dendam. Tetapi ini murni sebagai bahasa nurani. Aku tidak bersekutu dengan setan! Kasihan dong iblis, jadi kambing hitam terus? Ini naluriku untuk bertindak KEPADA PENONTON. KEPADA ORANG-ORANG YANG ADA DALAM IMAJINASINYA. Wah kacau rupanya kalian tidak hatam dengan doa? Doa itu perbuatan. Doa itu keinginan. Doa itu angan-angan. Doa itu harapan. Doa itu tingkah-laku kita. Itulah kemurahan Sang Pencipta, atas hidup kita? SEPETRTI MENDENGAR SUARA-SUARA YANG MENGHUJAT. MENUTUPI TELINGA BERPUTAR-PUTAR. GELISAH. Stop. Stop. Kenapa kalian jadi membela bapak dan ibu tiriku? Tindakan dan keinginanku beda benar dengan perbuatan bapak dan ibu tiriku. Bapak dan ibu tiriku kawin, adalah keinginan setan bukan doa. Kalau aku barulah doa,… ,… ,… Lho. Lho kenapa kalian bergembira dengan mentertawakanku? Apa kata-kataku salah? Hak azasi dong? Prerogative dong? Kreatif dong? Inovatif dong? Ah,… kalian bisanya tertawa melulu, benci dech aku? Sebel dech aku, muak-muak, muaaaaaaak tahuuuu? TIBA-TIBA DIA MENANGIS “SUASANA MUSIK DAN LAMPU IKUT MENGIRINGI KESEDIHAN HATINYA”. Tak ada yang lebih mulya dari hati seorang ibu. Ibu adalah tetimang kita di kala kita sedang dibenturkan masalah. Ibu adalah satu-satunya sorga dalam kehidupan dunia. HENING. Aku pernah mukim di sebuah pondok, mendalami nilai-nilai religius. Dimana betapa mulya posisinya seorang ibu bagi kita. Kalian tahu? Hei,… KEPADA PENONTON. Kalian tahu tidak? Kalau tidak tau, makanya dengarkan! Kalau sudah tau, seguru seilmu makanya jangan saling mengganggu ok? Sebab ini adalah sesuatu yang sakral, maka aku harus berdoa dulu. MULUTNYA BERKOMAT KAMIT SEPERTI SEDANG MERAJAH. Berapa literkah susu ibu yang terhisap dan diminum oleh kita? Berapa kotoran kitaklah yang terkecapkan dan termakam oleh ibu kita? Ketika ibu kita sedang makan? Dan kita menangis karcena pipis atau boker? Ibu berhenti dari makannya. Melayani kita. Lalu ibu melanjutkan makanya. Ih,… gak kebayang dech betapa joroknya kotoran kita termakan oleh ibu kita? SUARANYA MENINGGI. Aku tidak mau disebut durhaka. Aku tidak mau dibilang jadah. Aku tidak mau mengamalkan aji air susu dibalas dengan air tuba. Itulah sebabnya, kenapa aku membunuh bapak dan ibu tiriku sekaligus. Bukan semata-mata gelap mata, melainkan aku anak sholihah! Untuk saat ini kalian boleh tertawa atas penjelasanku. Sebab kalian tidak pernah mengalami hal sepertiku. Doaku pada kalian; cepat-cepatlah kalian mengalami kisah sepertiku, biar tau mana hitam, mana putih, mana yang namanya abu-abu. HENING. Pada suatu malam nan lembab, panjang dan dingin. Ketika seakan-akan benda-benda yang ada dihadapanku bergoyang. Atas kabar kematian ibuku, aku mendengar, aku melihat seulas senyum tersungging dari bibir bapak yang tebal, berlapis nikotin. Aku tak paham, tentang sesunging senyum itu, apakah ia berusaha menenangkan pikiranku? Aku bukanlah orang baik, tapi aku berusaha menjadi baik. Di luar sepengetahuan bapak dan ibuku; aku adalah pencadu narkoba, peminum minum-minuman keras, sesekali aku main permpuan dan judi, sebagai tambahanya. Jalan hidup yang aku tempuh, bagiku adalah wajar dan syah untuk dilakukan, sebab hidup adalah pilihan bukan? Seperti kedua orang tuaku yang memaksaku harus kuliah, demi sebuah prestisius di kehidupan bermasyarakat. Dan keinginan-keinginan yang bergejolak di kedalaman dada ini, adalah fitrahNya yang diberikan pada kita? Kalian boleh lho mencontoh dan meniru atau menjadi imitasiku? Atau meniru hidup seperti ibuku? Ibuku lahir dari keluarga terpandang, displin ilmunya tinggi, pemahaman nilai-nilai religiousnya sangat mantap. Kekayaan orang tuanya tak tertandingi di kota ini. Namun itu semua tidak menjadikan sosok ibu lupa pada nilai-nilai nas Sang Pencipta. HENING. Sedang bapaku, lahir dari kalangan strata sederhana. Ia adalah sopir pribadi ibuku, dikala ibuku masih perawan. Entah kenapa, siapa yang memulai, siapa yang menanamkan benih-benih cinta di hati mereka, posisi majikan dan pembatu, --berubah gembira: menjadi pasangan suami istri. Sampai akhirnya aku terlahir sebagai anak pertama, yang memilih hidup di jalur generasi koplo. Lima tahun berselang; lahirlah adiku satu-satunya. Adikku berjenis kelamin perempuan. Kecantikanya, sama seperti ibuku. Untungnya bibir adiku tipis. Tak kebayang kalau bibirnya tebal sepeti bapaku? Pasti adikku akan disebut sibibir jeding olehku? HENING. Aku sangat menyayangi adiku. Kemanapun ia pergi, aku kerap berada disampingnya. Walau awal-awal kelahiranya; aku sangat dibikin cemburu, sebab ibu dan bapaku jadi lebih perhatian pada dia. Adikku bernama Lastri Kinasih. HENING Kata ibuku: Lastri diambil dari kata lestari dan Kinasih diambil dari kata KEPADA PENONBTON Apa coba? Nah. Betul! Seratus, tus, tus,… dari kata kasih. Dimana penjabaran ibuku selanjutnya; Lastri Kinansih adalah sifat Sang Pencipta yang selalu menggabulkan doa-doa kita? Terutama doaku yang telah dikabulkaNya, --atas pembunuhan bapak dan ibutiriku. Betapa indah kasih Sang Pencipta. Betapa nikmat kepercayaan Sang Pencipta yang dibebankan di pundakku; aku bertindak sebagai algojoNya, untuk mencabut nyawa bapak dan ibu tiriku sekaligus dalam hari itu juga. HENING. KETAWA Lastri kecil perlahan-lahan tumbuh menjadi bunga desa. Kencantikanya harum mewangi, --menjadi momok sekampung. Sempat beberapa kali, Lastri hendak menjadi korban pemerkosaan, tapi untunglah aku kerap memergokinya. Bukan hanya hendak diperkosa oleh teman-temanya. Orang asing. Bahkan bapaku sendiri. Sejak saat itu, naluriku untuk membunuh tumbuh secara diam-diam; semua laki-laki yang mencoba melakukan tindak kriminal pada Lastri, tak ada yang selamat di tanganku; aku habisi nyawa mereka. Aku membunuhnya. Lastri tahu semuanya, namun Lastri diam. Dia tidak melaporkanku pada yang berwajib. Bahkan, ketika aku memergoki bapak mau memperkosanya, Lastri membela bapaku: “mas jangan sampai ibu tau tentang hal ini. Cukuplah kita saja yang tahu, kasian ibu. Pasti ibu syok berat mendengarnya? Lastri mohon sekali lagi padamu mas, Lastri mohon, bapak kita jangan kau bunuh, seperti lelaki-lelaki lainya?” Begitulah permohonan Lastri padaku. HENING. Detik jam, mendorong usia bumi. Bunga-bunga layu di mata. Usia dimakan masa. Ketika cinta sedang menuju puncaknya, kami sekeluarega tak bisa memandang dengan jernih. Kematian ibukulah, pangkal dari semua ini. Lastri syok atas kematian ibu. Jangankan Lastri, aku sendiri pun mewek termehek-mehek, --tato, anting dan rambut gimbalku, tak bisa menahan air mataku yang jatuh di hadapan jasad ibuku. HENING. Satu hari kemudian, dari kematian ibuku; barulah bapaku menikah kembali, Lastri kian defresi, sering tertawa sendiri, mukanya garang. Sesekali terlihat sendu. MENITIKAN AIR MATA. HENING. Hari berikutnya, setelah kami dikenalkan dengan ibu tiri kami; bapakku mengusir kami, dengan alasan tak ada hak waris untuk kami. Yang lebih menyakitkan, bahwa kami bukan darah dagingnya? Itulah sebabnya mengapa bapak berani melahirkan tindakan pemerkosaan pada Lastri? BANGKIT. BERANG. SEPERTI MENCEKIK LEHER BAPAKNYA. Bangsat. Asu. Jancuok. Orangtua biadab. Leher bapakku, aku cekik sekuat tenaga; namun adiku berteriak, bangkit dari duduknya: “ingat mas, mungkin ini sudah jalan takdir kita? mesti mas pernah bercerita tentang proses kelahiran kita yang sama keluar dari rahim ibu kita dan lelaki yang dihadapan kita saat ini, --selama ini, kita menyebutnya bapak kita? Bisa jadi, perkataan lelaki ini, benar adanya?” HENING. Dengan berat hati pikir dan rasa; hari itu juga, kami meninggalkan rumah besar ala arsitektur belanda. Kata almarhum ibuku, rumah itu sebagai hadiah perkawinan dari kedua orang tuanya yang kini sudah sama-sama tidur tenang di kedalaman tanah bersama ibuku. Kami tidak mengetahui alasan yang pasti, mengapa rumah itu jadi hak milik bapaku? Terlebih-lebih lagi, ketidakmengertianku; mengapa kami, tidak mewarisi darah daging bapakku? Apkah mungkin lelaki yang kusebut bapaku itu mandul? Lalu siapa bapak kami yang sebenarnya? Malam itu, bagi kami laksana kawah luka. Figure Bapak yang tegas. Sosok ibu yang nyantri, semuanya lenyap, ditelan duka raya. Tak ada kebanggaan dengan nilai-nilai. Kami berjalan menyusuri jalan hitam, melewati hutan lambang. Tiba dipersimpangan, tiga kelokan dari kost, di dekat tempatku kuliah: sambil istirahat; Lastri membuka percakapan “mas, mungkin ini sebabnya, mengapa ibu mau menikahi bapak, --padahal bapak sopirnya ibu? Adakah ibu kita sebinal itu, hamil diluar nikah, sebelum kawin dengan bapak? Dan kau mas, bukan anak bapak? Pun demikian aku, bukan anak bapak pula, lantas siapa bapak kita sebenarnya mas? Adakah lelaki yang dianggap bapak kita selama ini, adalah penutup aib ibu kita? Bukankah dia, dulunya sopir ibu kita? Dan rumah itu adalah pil tutup mulut buat lelaki yang selama ini kita anggap sebagai bapak?” Aku tak bisa menjawabnya dengan tegas, nyaris tak ada jawaban, selain suara nafasku, kian tak terpacu degupnya. Bahkan saat itu, aku takut dengan suara nafasku sendiri. “mas, kau masih ingat, ketika bapak mau memperkosaku? Waktu itu, kau hendak membunuhnya demi kehormatanku, namun aku melarangnya untuk kau habisi? Kini sudah jelas semuanya, bahwa dia bukan bapak kita. Mas, mengapa tidak kau bunuh saja dia sekarang?” Mendengar pemaparan berikutnya, naluri membunuhku gairah kembali, dalam hatiku, aku menyanggupi keinginan adiku itu. Satu minggu kemudian, tanpa sepengetahuan Lastri, aku membunuh bapak dan ibu tiriku. BEREKPRESI MEMPRAKTEKAN MEMBUNUH. Agh,… agh,… dengan tujuh kali tusukan yang tepat mengena, di arah jantung bapak, bapak mati dengan belati. Sedangkan ibu tiriku, aku tebas lehernya dengan golok, sampai putus. Aku sudah terbilang professional untuk membunuh, tak ada jejak yang aku tinggalkan untuk di dengus polisi. Semua berjalan lancar dan sempurna; sampai aku kembali ke rumah kostanku di kota; tak satupun yang tahu, bahwa akulah pembunuhnya, termasuk Lastri. Tiga hari dari sana, orang sekampung digegerkan dengan bau bangkai yang tidak lain dari rumah kami. Tetangga yang tau tempat kami bermukim, memberitahu kami; bahwa kemungkinan besar, --berdasarkan penyelidikan polisi, rumah orangtua kami kemasukan rampok. Memang benar, disamping aku membunuh mereka; aku pun merampoknya, yah,… lumayanlah, untuk bekal kami hidup di kota. Wajarkan? Anak yang dibuang gitchu lho? Sampai penyelidikan polisi usai. Sampai kami kembali kerumah tersebut. Lastri tidak tau, bahwa itu semua atas perbuatanku yang mengabulkan doanya. “Sang Pencipta telah membalaskan dendam untuk kita Lastri?” Itu kata-kata terindah yang keluar dari rahim mulutku, untuknya. Lastri tak berkomentar. HENING. Hari melipat hari. Gulungan ingatan. Detik jam mengubah segalanya; aku melihat Lastri kian seperti aku. Perangainya yang lembut mirip kebijakan ibu dalam berbagai hal; berubah total menjadi 180 derajat, aku heran, apa yang harus aku larang, sementara ucap dan lakuku pun bukan contoh yang baik bagi Lastri? Sempat aku berfikir, adakah aku dan Lastri, mewarisi darah psikopat, darah pemberangus, darah pemabuk, darah Dracula dari ibu atau bapak kandungku yang asli, berdasarkan cerita lelaki itu, yang selama ini kami anggap sebagai bapak kandungku sendiri? Entahlah. Kini Lastri suka mabuk-mabukan, tak ada lagi ayat-ayat kauniah yang keluar dari mulutnya, bila menjelang senja. Lastri jadi rakus. Liar. Ganas. Serta sudah lupa antara hubungan darah, sampai akhirnya kami melambang sari. Di sisi lain, kali pertama kami melakukan gituan, ada perasaan tak nyaman. Yah, takut-takut gitu dech, gelisahnya seperti kali pertama aku membunuh, tapi kesininya jadi ketagihan lho? Iiiih,… gereget dech aku: gereget, geret dan gereget,… banget, ---bila Lastri mualai merajuk. SADAR. Oh, hampir saja lupa: di sisi lain, aku punya kebanggan tersendiri, --sebagai naluriku seorang laki-laki; aku merasa bangga bisa menjebol gawang perawan bunga desa. MEMPERAKTEKKAN SENGGAMA. HENING. Di malam yang lain setelah pesta koplo yang dibasuh nafsu purbawi, sebagai kesempurnaan pesta. Tanpa sadar, aku bercerita pada Lastri, bahwa akulah yang telah menmbunuh bapak dan ibu tiri kami. HENING. Pagi hari nan bening, ketika kicau burung dan hangat mentari menyapa seluruh penghuni bumi bagian timur, bukan barat. Ketika aku sedang terlelap tidur, lagi asyik-asyiknya bermimpi dengan bidadari; sepasukan polisi mengepung rumah kami dan aku ditangkapnya. Tak ada celah untuk aku meloloskan diri dari kepungan polisi. Di berada rumah, ketika tanganku lemah dalam borgol; aku lihat, sesungging senyum seorang lelaki, yang selama ini kami anggap bapak, mekar dibibir Lastri. Apakah ia berusaha menenangkan pikiranku? BERTERIAK. Agh,… bajingan kamu Lastri. Kau khianat. Bangsat! Bukankah semua kematian mereka, atas keinginan doa-doamu selama ini? Bedebah! Jancuok! ***101208***
________
Catatan: teks dalam naskah ini bisa dirubah oleh si penggarap, --dengan tidak mengurangi benang merahnya.



____________
lintang Ismaya, salah satu nama pena dari sembilan nama pena yang dimiliki oleh Doni Muhamad Nur. Lahir di Tasikmalaya pada tanggal 01 Oktober 1979. Alumni STSI bandung pada jurusan teater. Masih membujang. Puisi, cerpen, laporan reportase, esai, kritrik seni yang ditulisnya tersebar di berbagai media cetak, baik terbitan lokal, daerah maupun nasional. Disamping itu, ia juga menulis novel, naskah sinetron dan film. Sesekali menyutradarai teater, videoclip dan sinetron.


Lebih Lanjut..