Sabtu, 15 Maret 2008

Siapa yang Harus Mengisi Ruang?

Jeblog, sebuah naskah drama yang memenangkan sayembara penulisan lakon drama basa sunda se-Jabar & Banten (Sunda Kiwari), karangan Nunu Nazaruddin Azhar (Nunaz) ini, dipentaskan oleh teater Dongkrak Tasikmalaya dari tanggal 11-18 Maret 2008. sebuah prestius yang sangat mengejutkan, manakala pementasan ini akan diapresiator oleh kurang lebih 10.000 penonton dari kalangan pelajar dan umum. Sementara tiket yang sudah terjual sekitar 9500, ungkap Edi Martoyo, selaku pimpinan produksi.
Terlepas dari itu, naskah Jeblog karya Nunaz sebenarnya adalah naskah perenungan yang bagi saya hanya enak dibaca namun sangat minim untuk dipentaskan dalam artian naskah ini benar-benar sebuah perenungan yang sangat mendalam, --artinya; jika mau mementaskan naskah ini, maka dibutuhkan aktor yang tangguh, dalam penghayatan peran. Manakala aktor harus menguasai akting realis. Terlebih pada peran Ibu, Nyi Putri Bulan, Sunyi dan Pamajikan yang harus diperankan oleh satu tokoh saja (kali ini Dongkrak menurunkan personil barunya, peran tersebut dipercyakan pada Ina Chute). Jeblog dalam tema besar yang di angkat Nunaz sebenarnya, bukan artian ke sia-siaan saja, namun lebih mengangkat bagaimana memahami ini hidup, seperti halnya dalam puisi Nunaz yang diberi judul, Aku Datang ke Banyak Peristiwa, inilah Jeblog yang sesungguhnya. Jeblog bukan hanya nihilisme semata, tapi realita bangsa ini, realita kehidupan kita dalam memahami, menghayati dan mencerna ini hidup dan kehidupan kita di ardhiNya yang fana ini.
Pada pementasan kali ini, saya sebagai penonton merasa terganjal mata dengan pertanyaan yang ada dalam benak saya, mengapa? Dalam sebuah konsep garapan (khususnya teater) apakah artistik yang menghidupkan aktor, ataukah aktor yang akan menghidupkan artistik? Teater Dongkrak kali ini, tidak menggunakan unsur dramantik yang sublim, melainkan konsep garap yang hadir adalah sebuah ke-Vandalis-an itu sendiri. Hingga ruang yang diciptakan mengalahkan gerak aktor itu sendiri. Inilah sebuah kesia-siaan, apakah sang sutradara yang membawahi pimpinan Aktor, Artistik, Lighting dan Pemusik yang digawangi Yudi Carmed, kurang memahami isi teks naskah, ataukah Yudi Carmed berusaha memberi warna baru untuk Teater Dongkrak? Terlepas dari tata ruang (Artistik) bagaimana pun itu bentuknya, di negara manapun, katakanlah seluruh dunia bersepakat bahwa peradaban tertinggi dunia itu adalah Romawi, selama saya mempelajari sejarah, antropologi, pun budaya barat, tidak pernah ada sebuah penjara yang membentangkan rantai begitu panjang dan kokoh, apa lagi rantai tersebut bersumber dari langit-langit. Dan bila dibenturkan pada realita naskah, Nunaz berbicara di Indonesia (kini), penjara mana di Indonesia yang begitu royal menghamburkan rantai? "Dari pada untuk mensubsidi rantai, lebih baik mensubsidi isi perut."
Sebuah ke-Vandalis-an yang cukup mengejutkan namun melelahkan mata untuk penonton. Tata Ruang yang sederhana, melahirkan efek kejut, sengaja diciptakan, namun ketika dibenturkan dengan aktor, sayangnya aktor sendiri tidak mengikuti ke-Vandalis-an artistik yang sudah dibangun. Jadi disini ada ketimpangan dalam megisi ruang, sehingga satu sama lain jadi tidak saling mempengaruhi. Manakala jika di benturkan dengan perttanyaan ini pun; "ketika sebuah pertunjukkan kehilangan daya dan warna, apa yang harus dimunculkan?" Di sisi lain mungkin Yudi Carmed memahami kekuatan aktor yang kurang penghayatan pada penghidupan sukma aktor, sehingga konsep artistiklah yang dimunculkan, namun sayangnya artistik jadi lebih mengkecilkan gerak ruang aktor. Dimana sebetulnya naskah Jeblog karya Nunaz ini tidak membutuhkan penyempitan ruang, sebenarnya penyempitan ruang itu ada dalam pikira-pikiran si tokoh itu sendiri, Sarkawi (Andarea Fatih), Burhan (King Lihing, dan Wit Jabo Widianto (Dalka), yang manakakala atas perbuan mereka sendiri, sebelum terkurung dalam ruangan penjara, --perbutan mereka menghasilkan nilai Jeblog, bagi kebenaran komunal. Dimana falsafah sunda berkata Walagri bibit sa ati, waluya kedal ku ucap, punahna ku laku diri dan Nunaz memahami betul falsafah tersebut dalam naskahnya itu.
Benar adanya, sebuah ruang teater yang diciptakan, menjadi ruang kreatif bagi si seniman (pekerja seni), namun ada satu hal yang harus di ingat, se absurditas apapun itu karya, se suryalis apapun itu karya, tetap pada titik awalnya, karya tersebut bertolah dari kerealisan yang ada. Meski hukum panggung tidak mengenal wadag realis murni (Benar-benar realis to). Mungkinkah karea orang sunda selalu latah dengan kirata dan tuturut munding, sehingga ketika mementaskan naskah yang berjudul Jeblog, maka hasil garapan yang diusung teater Dongkrak dalam awak garapan kali ini bernilai 3/4 nya Jeblog pula? Wallahu'alam.
Namun walau bagaimana pun, Teater Dongkrak, secara prestisius bisa mempertahankannya keutuhan usianya yang sudah 17 tahun lebih dan kali ini adalah garapan yang ke 79 kalinya. Suatu prestasi yang langka, sebuah kelompok bisa bertahan sampai 17 tahun dengan militansi dan pergeseran Re-Generasi yang dibidani Nur Ahmad Rus ini. Selamat!***
----------------------------------------------------------------------------
Tulisan ini dimuat di Koran Priangan 26 Maret 2008
--------------------------------------------------------------------------

0 komentar: