Minggu, 25 Mei 2008

J A T U H

Cerpen: Lintang Ismaya

Patahan-patahan kata merangkai kalimat. Manakala kalimat demi kalimat merangkai makna untuk ditafsir. Sebelum huruf membunuh huruf.
Jatuh. Sebuah kata yang syarat makna. Bisa berarti jatuh dalam segala hal, tergantung kata demi kata yang menjadi aksesorisnya:
“Apa yang dikau lakukan ketika jatuh?”
“Terkadang marah, kesal bahkan mengumpat Tuhan segala?”
“Itulah hidup. Semestinya, kita senyum; bila mengalami hal tersebut. Jika dikau jatuh, --sesungguhnya ada sebuah jalan yang menjadi enigmaNya?”
Percakapan itulah, yang masih tersimpan rapi di dalam diaryku, beberapa tahun silam; ketika kami sudah mulai akrab. Ia seorang perempuan. Namanya Rab. Aku menyebut dirinya sebagai malaikat kecilku. Gadis cantik berparas keturunan Indo-Jerman. Lahir dan besar di tanah Sunda. Hobinya menulis puisi. Orang-orang menyebutnya sebagai penyair sensual nan sexy, senyumnya yang etnis, bikin gereget kaum lelaki bila beradu pandang dengannya.
Potongan hujan jatuh satu-satu
Menjadi bunyi. Merekahkan gairah
Yang nyaris layu dalam kalbu

“Hai, masih suka tidur di kampus? Besok aku akan datang jam 9 tepat. Dikau sudah bangunkan?” Sebuah SMS singkat aku terima.
“Tikus kampus maksudnya? Yap, aku tidur di UKM. Jam 9 aku sudah bangun kok? Aku tunggu ya?” Jawabku.
Rab? Aku baru sadar, bahwa SMS itu datangnya dari Rab. Aku pikir dia sudah melupakanku. Aku pernah membikin ia kecewa, --gara-gara SMS-SMS gelapku yang aku kirimkan padanya. Tujuanku bercanda. Tapi akhirnya dia tahu, siapa yang candainya selama ini. Susah memang, dia benar-benar pintar, di samping cantik, keibuan lagi. Rab, tahu persis gaya bahasaku. Itulah kemarahannya padaku. Sejak itu, kami jarang bertemu dan berkomunikasi, meski via SMS sekalipun. Rupanya Rab benar-benar membenciku.
Malam melayang jatuh
Bagai lembaran daun gugur
Angin tiris menggarisi sisa usia
“Tahun 2008”. Bibirku bergumam, seraya pandangan mataku jatuh pada almanak yang menggantung di dinding kamar (UKM), persis di atas meja yang menampung monitor komputer dan buku-buku. Teringat kembali akan Rab, ketika kami sering bertemu. Tak cukup banyak kenangan sih, sejujurnya. Tapi kenangan memang tak bisa dikuburkan:
“Bukan makanan yang masuk ke tubuh kita yang membikin kita sakit. Tapi ada pikiran-pikiran lain yang mengganggu organ tubuh. Lihatlah kini dikau punya tubuh? Kurus, garing. Ketika jatuh, janganlah terlalu didramatisir, yang membuat kita sakit dan menjerit tak berdaya; oleh siapa lagi diri kita diobati, kalau bukan oleh diri kita sendiri? Setidaknya sayangilah badan dikau, tidak kering seperti ini? Katanya dikau pernah jatuh. Kenapa dengan jatuh ini, dikau tidak bisa belajar dari kejatuhan-kejatuhan lampau, untuk mengatasinya?”
“Ini masalahnya lain Rab; aku sudah memplanning semuanya dengan sempurna?”
“Impian tak seindah yang dibayangkan. Dikau ingat itu?” Kilat jawabannya. Tanpa sempat untukku berpikir lagi. Selain mengumpat Sang Waktu:
“Tuhan tidak adil?”
“Eit… kenapa bilang begitu? Bukankah Tuhan Maha Pencemburu? Siapa tahu, saking fokusnya dikau pada sesuatu, akhirnya perintah Tuhan terlupakanlah, --oleh dikau?”
“Itu bagimu, yang tidak merasakan?” Pangkasku. Tak mau kalah. Sementara Rab hanya tersenyum tipis saja disepuh geleng-geleng kepala:
Kembali aku disadarkan oleh Rab, pada kejatuhanku yang entah untuk keberapa kalinya. Tahun 2005, benar-benar duka raya bagiku. Perempuan memang misterius. Sepertihalnya Rab, yang menjelma malaikat kecil; bagiku. Di sisi lain aku jatuh oleh seorang perempuan. Ia pergi meninggalkanku, dengan semua planning yang telah disusun dan disepakati secara bersama-sama. Kuharus relakannya pergi, walau aku tak mau.
Luka cinta, memang sulit untuk diobati secara cepat dan praktis. Tak ada obat yang paling mujarab, selain waktu, kasih sayang dan perhatian.
Meski menggoreskan luka di hati, kenangan demi kenanganku dengannya. Tak pernahku lupa. Terkadang aku suka senyum sendiri bila mengingatnya. Bening, nama perempuan tersebut. Banyak pelajaran yang aku dapatkan, selama merajut cinta dengannya, --memahami segala apa yang kami pandang. Memaknai hidup. Manakala hidup adalah rangkaian pelajaran yang harus dihayati untuk dimengerti. Meski kini, aku trauma untuk menyulam cinta dengan perempuan lain di luar Bening. Bening, --yang menorehkan luka mawar begitu dalam. Tersimpan di palung rasa.
Sejak saat itu, di kampus; aku terkenal dengan sebutan lelaki sepi dan dingin. Terlebih pada mahluk bernama perempuan. Walau Rab, sudah mengingatkanku; --akan tidak bolehnya memelihara keputus-asaan di kedalaman dada.
Matahari menyentuh miring
Menembus kisi-kisi jendela
Hangat dibingkai kicau burung
Dering HPku berbunyi. Bangunkanku dari dunia mimpi. Aku mengangkatnya. Terdengar suara merdu, mengusap pendengaranku:
“Aku sudah di depan mesjid. Dikau dimana? Sudah bangunkah?”
“Yap. Sudah bangun kok, makanya aku bisa angkat telephone?” Jawabku dengan full kebohongan. Padahal aku terbangun gara-gara dering HPku yang aku simpan, persis di pinggir telinga kiriku:
“Cepetan ke sini ya, aku tunggu di masjid?” Balasnya.
“Waduh gawat, mana Rab sudah berada di beranda masjid lagi? Ini hari minggu. Semua WC kampus dikunci. Satu-satunya sumber air ada di tempat wudlhu. Masjid. Ketahuan deh, aku baru bangun?” Bisik bathinku.
Langkah-langkah gelisah, aku susuri. Setelah sebelumnya aku kunci pintu UKM. Dari jarak ± 20 meter, aku sudah bisa melihat Rab, yang sedang berdiri di beranda masjid kampus. Semula aku mau memutar jalan, setelah aku melihat Rab, --aku mau memasuki WC masjid. Cuci muka maksudku. Namun badannya Rab keburu berbalik, matanya persis menatapku:
“Woi, baru bangun ya? Maaf aku ganggu? Wah dikau gemuk sekarang? Pipimu cabi, berdagu dua?” Sapanya, sambil mencubiti kedua pipiku, dengan buku-buku jari tangannya.
Tentu saja aku malu. Tak berkomentar. Setelah bersalaman, aku masuki tempat wudlhu, cuci muka kilat, menggunakan dua jari, jurus kuntau dadakan, membuang cileuh yang membikin lingkaran mini di kedua sudut bibir mataku.
Detik jam bergeser pelan
Di rambut umurku
Yang dirayapi Izrail
Di taman kampus. Kami habiskan waktu siang. Kami ngobrol kesana kemari. Rab terlihat layu. Tubuhnya yang molek nan seksi terlihat kering. Namun aura kecantikkannya masih mendomisili permukaan wajahnya. Senyum etnisnya yang khas belum sirna dari bibir tipisnya itu. Aku baru engeh, ada yang berubah dari tubuhnya, --sejak dari tadi ia datang.
Rab bercerita tentang sebab-sebab tubuhnya menjadi kurus:
“Aku, … kenapa aku bukan yang terpilih? Targetku untuk menikah tahun ini, ya di usiaku ini. Aku ingin menikah di usia ini? Dan bukan cuma itu, aku hancur segala-galanya Dom? Impian-impian yang lain pun musnah? Dikau pasti pahamkan? Kini aku jatuh?”
Aku tak buru-buru menjawabnya. Disamping sulit untuk berkata-kata. Rab yang kerap menjadi malaikat kecilku, bila aku sedang terjatuh. Kini, malaikat kecilku sedang terjatuh. Aku pandangi mata Rab, yang sedang berusaha menahan bendungan air garam yang bersarang di kedua klopak matanya, agar tidak bedah di hadapanku. Aku berusaha mengalihkan perhatian: Aku berlari, keluar dari gerbang kampus. Setelah sebelumnya pamit dulu. Aku pesan satu gelas susu tawar, secangkir kopi hitam dan beberapa batang rokok keretek dari kios depan. Pedagang kaki lima yang mangkal, di pinggir luar, persis dekat pintu gerbang kampus:
“Minuman datang… . Aku masih ingat cerita kecilmu dulu. Mudah-mudahan susu tawar ini, masih kesukaanmu di samping coklat?” Sambutku yang baru kembali dari kios.
Rab, menatapku dalam. Aku berusaha menolak sinar yang dipancarkan sepasang matanya ke arahku. Andai kau tahu Rab, sesungguhnya hati ini larut. Luka. Akan kisahmu itu. Bagaimana aku tidak hanyut akan kisahmu Rab. Aku pernah mengalaminya, meski sudah beberapa tahun lamanya. Bilamana kau masih mengingatnya, --bukankah kau yang kembali menyadarkanku pada realitas yang nyata? Sepasang cincin kawin. Satu rumah mungil yang aku beli secara kredit di sebuah bukit, yang aku siapkan untuk hidup bersama Bening. Raib sudah di tangan pengembang, tak sanggup lagi membayar cicilan. Bukan tak sanggup secara materi, tapi harapanlah yang membiarkan rumah itu melayang ditelan duka rayaku:
“Sebahagianya kegembiraan dan kesenangan yang kau dapat. Sifatnya hanya sementara dan sebetapa lamanya kau menyimpan luka, takkan bisa mengembalikan apapun yang sudah hilang darimu?” Sepontan pikiranku, terucap sudah di hadapan Rab.
“Apa dikau bilang?” Timpalnya.
Tak ada perkataan ulang, yang keluar dari rahim mulutku. Selain aku bercerita tentang kisah-kisahku, selama Rab masih menyimpan kemarahanya atas SMS-SMS gelapku. Selama Rab tidak mengunjungiku. Aku yang berbalik curhat. Aku yang mengabaikan kejatuhannya.
Kami yang duduk berhadap-hadapan. Diam-diam aku telisik seluruh tubuhnya dari ujung kaki sampai ujung rambut. Jejak-jejak kaki telanjang, menempel pada tanah, yang menyimpan hasrat mawar untuk tumbuh secara gaib. Cintakah aku padamu Rab? Sembuhkah aku dari kejatuhanku? Entahlah!
***apriltikampustamanbuaya2008**
Lebih Lanjut..

Rabu, 21 Mei 2008

UNTUK KAU BACA "side 1"

seberapa bahagianya hidup
yang
pernah kau rasakan
tetap berpatok pada ukuran semu
dan sifatnya tak abadi adanya
seberapa dalamnya kau simpan
dan kau kenang derita
tak'kan sanggup membawa kembali
sesuatu yang pernah hilang darimu
manakala hidup adalah rangkaian pelajaran
yang harus dihayati untuk dimengerti!

2008
Lebih Lanjut..