Minggu, 21 Desember 2008

MONOLOG

ATAS NAMA DOA atawa SENYUM LASTRI
Karya: Lintang Ismaya


RUANG PENJARA. PESAKITAN TAMPAK TIDUR SEPERTI ANJING. DARI ATAS LANGIT-LANGIT JATUH BUKU DAN BOLPOINT MENIMPA MUKANYA. TERDENGAR SUARA SESEORANG: Besok, hari terindahmu, --menghadapi duabelas regu pasukan tembak. Tulislah biografi hidupmu, biar semuanya jelas. Siapa tahu kau jadi figure yang fantastic bagi generasi mendatang? ORANG ITU TERTAWA.

PESAKITAN BANGUN SECARA PERLAHAN-LAHAN. MELIHAT SEKITAR. MELIHAT KE ARAH SUMBER SUARA. MENGAMBIL BUKU DAN BOLPOINT. PESAKITAN TERTAWA LEPAS. BERNYANYI-NYANYI RIANG. SEPERTI MENULISKAN SESUATU DI DALAM BUKU TERSEBUT.

Seseorang datang dan pergi di kehidupanku. Seperti angin waktu yang kerap menyimpan ribuan rahasia. Begitulah adanya hidupku. Aku terbentuk. Terpatok. Terpenjara. Terkontaminasi. Terseok-seok. Menjadi sesosok diriku. Lahir dan tumbuh, sampai akhirnya terpatri di tempat ini. BANGKIT. MENCARI PUNTUNG ROKOK DAN MENYALAKANNYA. MEMAINKAN ASAPNYA. TERTAWA. MENARI-NARI KECIL BAK BALERINA.

Sejarah. Yap. Semua orang pada akhirnya sama; saling berebut tentang sejarah. Menuliskannya pada lembar demi lembar buku sejarah. Tanpa peduli ada yang membacanya. Bahkan tidak menutup kemungkinan, hanya dibaca oleh diri kita sendiri. SEPERTI MENDENGAR SUARA. Apa? Yap. Benar. Pendapat anda benar sekali? Bukankah di hadapan Sang Pencipta, yang kita sodorkan dan diperiksa adalah lembar demi lembar sejarah hidup dan kehidupan kita? Itulah fungsinya malaikat, sebagai asisten kita yang dianugrahkan dari Sang Pencipta. HENING SEJENAK. TIBA-TIBA SEPERTI MENGAMUK Asu. Bangsat. Apa peduliku dengan dogma-dogma? Ketika lonceng gereja berbunyi, tak ada lagi biara-biara suci. Tak adalagi nyanyian koor. Ketika gema adzan berkumandang, tak adalagi kiai yang membawa santri-santinya untuk berjamaah. LANTANG SUARANYA Aggggggggggh,… EMOSINYA MENINGGI. Ibuku, baru saja satu hari meninggal, bapaku sudah kawin lagi. Aku dan adikku ditendangnya dari rumah. Agama. Apa yang aku dapat dari pemahaman nilai-nilai religious yang ditanam sejak kecil oleh ibu dan bapakku? Sementara kelakuan bapakku tak ubahnya anjing! SEPEERTI MENDENGAR ORANG BERBICARA. LIRIK KANAN LIRIK KIRI. KEPALA DAN TUBUHNYA BERPUTAR-PUTAR. SUARA-SUARA ITU SEMAKIN TAJAM MENGHUJAMI PIKIRANYA “KASIH INSPIRASI MUSIK”. Diam! Tidak! Aku tidak sensitrif? Tapi aku bernbicara fakta. Jangan menghakimi aku begitu rupa? Ini urusan pribadiku. Apa hak kalian? Kalaulah ayah dan ibu tiriku Mati ditanganku, bukan semata-mata alasan klise, balas dendam. Tetapi ini murni sebagai bahasa nurani. Aku tidak bersekutu dengan setan! Kasihan dong iblis, jadi kambing hitam terus? Ini naluriku untuk bertindak KEPADA PENONTON. KEPADA ORANG-ORANG YANG ADA DALAM IMAJINASINYA. Wah kacau rupanya kalian tidak hatam dengan doa? Doa itu perbuatan. Doa itu keinginan. Doa itu angan-angan. Doa itu harapan. Doa itu tingkah-laku kita. Itulah kemurahan Sang Pencipta, atas hidup kita? SEPETRTI MENDENGAR SUARA-SUARA YANG MENGHUJAT. MENUTUPI TELINGA BERPUTAR-PUTAR. GELISAH. Stop. Stop. Kenapa kalian jadi membela bapak dan ibu tiriku? Tindakan dan keinginanku beda benar dengan perbuatan bapak dan ibu tiriku. Bapak dan ibu tiriku kawin, adalah keinginan setan bukan doa. Kalau aku barulah doa,… ,… ,… Lho. Lho kenapa kalian bergembira dengan mentertawakanku? Apa kata-kataku salah? Hak azasi dong? Prerogative dong? Kreatif dong? Inovatif dong? Ah,… kalian bisanya tertawa melulu, benci dech aku? Sebel dech aku, muak-muak, muaaaaaaak tahuuuu? TIBA-TIBA DIA MENANGIS “SUASANA MUSIK DAN LAMPU IKUT MENGIRINGI KESEDIHAN HATINYA”. Tak ada yang lebih mulya dari hati seorang ibu. Ibu adalah tetimang kita di kala kita sedang dibenturkan masalah. Ibu adalah satu-satunya sorga dalam kehidupan dunia. HENING. Aku pernah mukim di sebuah pondok, mendalami nilai-nilai religius. Dimana betapa mulya posisinya seorang ibu bagi kita. Kalian tahu? Hei,… KEPADA PENONTON. Kalian tahu tidak? Kalau tidak tau, makanya dengarkan! Kalau sudah tau, seguru seilmu makanya jangan saling mengganggu ok? Sebab ini adalah sesuatu yang sakral, maka aku harus berdoa dulu. MULUTNYA BERKOMAT KAMIT SEPERTI SEDANG MERAJAH. Berapa literkah susu ibu yang terhisap dan diminum oleh kita? Berapa kotoran kitaklah yang terkecapkan dan termakam oleh ibu kita? Ketika ibu kita sedang makan? Dan kita menangis karcena pipis atau boker? Ibu berhenti dari makannya. Melayani kita. Lalu ibu melanjutkan makanya. Ih,… gak kebayang dech betapa joroknya kotoran kita termakan oleh ibu kita? SUARANYA MENINGGI. Aku tidak mau disebut durhaka. Aku tidak mau dibilang jadah. Aku tidak mau mengamalkan aji air susu dibalas dengan air tuba. Itulah sebabnya, kenapa aku membunuh bapak dan ibu tiriku sekaligus. Bukan semata-mata gelap mata, melainkan aku anak sholihah! Untuk saat ini kalian boleh tertawa atas penjelasanku. Sebab kalian tidak pernah mengalami hal sepertiku. Doaku pada kalian; cepat-cepatlah kalian mengalami kisah sepertiku, biar tau mana hitam, mana putih, mana yang namanya abu-abu. HENING. Pada suatu malam nan lembab, panjang dan dingin. Ketika seakan-akan benda-benda yang ada dihadapanku bergoyang. Atas kabar kematian ibuku, aku mendengar, aku melihat seulas senyum tersungging dari bibir bapak yang tebal, berlapis nikotin. Aku tak paham, tentang sesunging senyum itu, apakah ia berusaha menenangkan pikiranku? Aku bukanlah orang baik, tapi aku berusaha menjadi baik. Di luar sepengetahuan bapak dan ibuku; aku adalah pencadu narkoba, peminum minum-minuman keras, sesekali aku main permpuan dan judi, sebagai tambahanya. Jalan hidup yang aku tempuh, bagiku adalah wajar dan syah untuk dilakukan, sebab hidup adalah pilihan bukan? Seperti kedua orang tuaku yang memaksaku harus kuliah, demi sebuah prestisius di kehidupan bermasyarakat. Dan keinginan-keinginan yang bergejolak di kedalaman dada ini, adalah fitrahNya yang diberikan pada kita? Kalian boleh lho mencontoh dan meniru atau menjadi imitasiku? Atau meniru hidup seperti ibuku? Ibuku lahir dari keluarga terpandang, displin ilmunya tinggi, pemahaman nilai-nilai religiousnya sangat mantap. Kekayaan orang tuanya tak tertandingi di kota ini. Namun itu semua tidak menjadikan sosok ibu lupa pada nilai-nilai nas Sang Pencipta. HENING. Sedang bapaku, lahir dari kalangan strata sederhana. Ia adalah sopir pribadi ibuku, dikala ibuku masih perawan. Entah kenapa, siapa yang memulai, siapa yang menanamkan benih-benih cinta di hati mereka, posisi majikan dan pembatu, --berubah gembira: menjadi pasangan suami istri. Sampai akhirnya aku terlahir sebagai anak pertama, yang memilih hidup di jalur generasi koplo. Lima tahun berselang; lahirlah adiku satu-satunya. Adikku berjenis kelamin perempuan. Kecantikanya, sama seperti ibuku. Untungnya bibir adiku tipis. Tak kebayang kalau bibirnya tebal sepeti bapaku? Pasti adikku akan disebut sibibir jeding olehku? HENING. Aku sangat menyayangi adiku. Kemanapun ia pergi, aku kerap berada disampingnya. Walau awal-awal kelahiranya; aku sangat dibikin cemburu, sebab ibu dan bapaku jadi lebih perhatian pada dia. Adikku bernama Lastri Kinasih. HENING Kata ibuku: Lastri diambil dari kata lestari dan Kinasih diambil dari kata KEPADA PENONBTON Apa coba? Nah. Betul! Seratus, tus, tus,… dari kata kasih. Dimana penjabaran ibuku selanjutnya; Lastri Kinansih adalah sifat Sang Pencipta yang selalu menggabulkan doa-doa kita? Terutama doaku yang telah dikabulkaNya, --atas pembunuhan bapak dan ibutiriku. Betapa indah kasih Sang Pencipta. Betapa nikmat kepercayaan Sang Pencipta yang dibebankan di pundakku; aku bertindak sebagai algojoNya, untuk mencabut nyawa bapak dan ibu tiriku sekaligus dalam hari itu juga. HENING. KETAWA Lastri kecil perlahan-lahan tumbuh menjadi bunga desa. Kencantikanya harum mewangi, --menjadi momok sekampung. Sempat beberapa kali, Lastri hendak menjadi korban pemerkosaan, tapi untunglah aku kerap memergokinya. Bukan hanya hendak diperkosa oleh teman-temanya. Orang asing. Bahkan bapaku sendiri. Sejak saat itu, naluriku untuk membunuh tumbuh secara diam-diam; semua laki-laki yang mencoba melakukan tindak kriminal pada Lastri, tak ada yang selamat di tanganku; aku habisi nyawa mereka. Aku membunuhnya. Lastri tahu semuanya, namun Lastri diam. Dia tidak melaporkanku pada yang berwajib. Bahkan, ketika aku memergoki bapak mau memperkosanya, Lastri membela bapaku: “mas jangan sampai ibu tau tentang hal ini. Cukuplah kita saja yang tahu, kasian ibu. Pasti ibu syok berat mendengarnya? Lastri mohon sekali lagi padamu mas, Lastri mohon, bapak kita jangan kau bunuh, seperti lelaki-lelaki lainya?” Begitulah permohonan Lastri padaku. HENING. Detik jam, mendorong usia bumi. Bunga-bunga layu di mata. Usia dimakan masa. Ketika cinta sedang menuju puncaknya, kami sekeluarega tak bisa memandang dengan jernih. Kematian ibukulah, pangkal dari semua ini. Lastri syok atas kematian ibu. Jangankan Lastri, aku sendiri pun mewek termehek-mehek, --tato, anting dan rambut gimbalku, tak bisa menahan air mataku yang jatuh di hadapan jasad ibuku. HENING. Satu hari kemudian, dari kematian ibuku; barulah bapaku menikah kembali, Lastri kian defresi, sering tertawa sendiri, mukanya garang. Sesekali terlihat sendu. MENITIKAN AIR MATA. HENING. Hari berikutnya, setelah kami dikenalkan dengan ibu tiri kami; bapakku mengusir kami, dengan alasan tak ada hak waris untuk kami. Yang lebih menyakitkan, bahwa kami bukan darah dagingnya? Itulah sebabnya mengapa bapak berani melahirkan tindakan pemerkosaan pada Lastri? BANGKIT. BERANG. SEPERTI MENCEKIK LEHER BAPAKNYA. Bangsat. Asu. Jancuok. Orangtua biadab. Leher bapakku, aku cekik sekuat tenaga; namun adiku berteriak, bangkit dari duduknya: “ingat mas, mungkin ini sudah jalan takdir kita? mesti mas pernah bercerita tentang proses kelahiran kita yang sama keluar dari rahim ibu kita dan lelaki yang dihadapan kita saat ini, --selama ini, kita menyebutnya bapak kita? Bisa jadi, perkataan lelaki ini, benar adanya?” HENING. Dengan berat hati pikir dan rasa; hari itu juga, kami meninggalkan rumah besar ala arsitektur belanda. Kata almarhum ibuku, rumah itu sebagai hadiah perkawinan dari kedua orang tuanya yang kini sudah sama-sama tidur tenang di kedalaman tanah bersama ibuku. Kami tidak mengetahui alasan yang pasti, mengapa rumah itu jadi hak milik bapaku? Terlebih-lebih lagi, ketidakmengertianku; mengapa kami, tidak mewarisi darah daging bapakku? Apkah mungkin lelaki yang kusebut bapaku itu mandul? Lalu siapa bapak kami yang sebenarnya? Malam itu, bagi kami laksana kawah luka. Figure Bapak yang tegas. Sosok ibu yang nyantri, semuanya lenyap, ditelan duka raya. Tak ada kebanggaan dengan nilai-nilai. Kami berjalan menyusuri jalan hitam, melewati hutan lambang. Tiba dipersimpangan, tiga kelokan dari kost, di dekat tempatku kuliah: sambil istirahat; Lastri membuka percakapan “mas, mungkin ini sebabnya, mengapa ibu mau menikahi bapak, --padahal bapak sopirnya ibu? Adakah ibu kita sebinal itu, hamil diluar nikah, sebelum kawin dengan bapak? Dan kau mas, bukan anak bapak? Pun demikian aku, bukan anak bapak pula, lantas siapa bapak kita sebenarnya mas? Adakah lelaki yang dianggap bapak kita selama ini, adalah penutup aib ibu kita? Bukankah dia, dulunya sopir ibu kita? Dan rumah itu adalah pil tutup mulut buat lelaki yang selama ini kita anggap sebagai bapak?” Aku tak bisa menjawabnya dengan tegas, nyaris tak ada jawaban, selain suara nafasku, kian tak terpacu degupnya. Bahkan saat itu, aku takut dengan suara nafasku sendiri. “mas, kau masih ingat, ketika bapak mau memperkosaku? Waktu itu, kau hendak membunuhnya demi kehormatanku, namun aku melarangnya untuk kau habisi? Kini sudah jelas semuanya, bahwa dia bukan bapak kita. Mas, mengapa tidak kau bunuh saja dia sekarang?” Mendengar pemaparan berikutnya, naluri membunuhku gairah kembali, dalam hatiku, aku menyanggupi keinginan adiku itu. Satu minggu kemudian, tanpa sepengetahuan Lastri, aku membunuh bapak dan ibu tiriku. BEREKPRESI MEMPRAKTEKAN MEMBUNUH. Agh,… agh,… dengan tujuh kali tusukan yang tepat mengena, di arah jantung bapak, bapak mati dengan belati. Sedangkan ibu tiriku, aku tebas lehernya dengan golok, sampai putus. Aku sudah terbilang professional untuk membunuh, tak ada jejak yang aku tinggalkan untuk di dengus polisi. Semua berjalan lancar dan sempurna; sampai aku kembali ke rumah kostanku di kota; tak satupun yang tahu, bahwa akulah pembunuhnya, termasuk Lastri. Tiga hari dari sana, orang sekampung digegerkan dengan bau bangkai yang tidak lain dari rumah kami. Tetangga yang tau tempat kami bermukim, memberitahu kami; bahwa kemungkinan besar, --berdasarkan penyelidikan polisi, rumah orangtua kami kemasukan rampok. Memang benar, disamping aku membunuh mereka; aku pun merampoknya, yah,… lumayanlah, untuk bekal kami hidup di kota. Wajarkan? Anak yang dibuang gitchu lho? Sampai penyelidikan polisi usai. Sampai kami kembali kerumah tersebut. Lastri tidak tau, bahwa itu semua atas perbuatanku yang mengabulkan doanya. “Sang Pencipta telah membalaskan dendam untuk kita Lastri?” Itu kata-kata terindah yang keluar dari rahim mulutku, untuknya. Lastri tak berkomentar. HENING. Hari melipat hari. Gulungan ingatan. Detik jam mengubah segalanya; aku melihat Lastri kian seperti aku. Perangainya yang lembut mirip kebijakan ibu dalam berbagai hal; berubah total menjadi 180 derajat, aku heran, apa yang harus aku larang, sementara ucap dan lakuku pun bukan contoh yang baik bagi Lastri? Sempat aku berfikir, adakah aku dan Lastri, mewarisi darah psikopat, darah pemberangus, darah pemabuk, darah Dracula dari ibu atau bapak kandungku yang asli, berdasarkan cerita lelaki itu, yang selama ini kami anggap sebagai bapak kandungku sendiri? Entahlah. Kini Lastri suka mabuk-mabukan, tak ada lagi ayat-ayat kauniah yang keluar dari mulutnya, bila menjelang senja. Lastri jadi rakus. Liar. Ganas. Serta sudah lupa antara hubungan darah, sampai akhirnya kami melambang sari. Di sisi lain, kali pertama kami melakukan gituan, ada perasaan tak nyaman. Yah, takut-takut gitu dech, gelisahnya seperti kali pertama aku membunuh, tapi kesininya jadi ketagihan lho? Iiiih,… gereget dech aku: gereget, geret dan gereget,… banget, ---bila Lastri mualai merajuk. SADAR. Oh, hampir saja lupa: di sisi lain, aku punya kebanggan tersendiri, --sebagai naluriku seorang laki-laki; aku merasa bangga bisa menjebol gawang perawan bunga desa. MEMPERAKTEKKAN SENGGAMA. HENING. Di malam yang lain setelah pesta koplo yang dibasuh nafsu purbawi, sebagai kesempurnaan pesta. Tanpa sadar, aku bercerita pada Lastri, bahwa akulah yang telah menmbunuh bapak dan ibu tiri kami. HENING. Pagi hari nan bening, ketika kicau burung dan hangat mentari menyapa seluruh penghuni bumi bagian timur, bukan barat. Ketika aku sedang terlelap tidur, lagi asyik-asyiknya bermimpi dengan bidadari; sepasukan polisi mengepung rumah kami dan aku ditangkapnya. Tak ada celah untuk aku meloloskan diri dari kepungan polisi. Di berada rumah, ketika tanganku lemah dalam borgol; aku lihat, sesungging senyum seorang lelaki, yang selama ini kami anggap bapak, mekar dibibir Lastri. Apakah ia berusaha menenangkan pikiranku? BERTERIAK. Agh,… bajingan kamu Lastri. Kau khianat. Bangsat! Bukankah semua kematian mereka, atas keinginan doa-doamu selama ini? Bedebah! Jancuok! ***101208***
________
Catatan: teks dalam naskah ini bisa dirubah oleh si penggarap, --dengan tidak mengurangi benang merahnya.



____________
lintang Ismaya, salah satu nama pena dari sembilan nama pena yang dimiliki oleh Doni Muhamad Nur. Lahir di Tasikmalaya pada tanggal 01 Oktober 1979. Alumni STSI bandung pada jurusan teater. Masih membujang. Puisi, cerpen, laporan reportase, esai, kritrik seni yang ditulisnya tersebar di berbagai media cetak, baik terbitan lokal, daerah maupun nasional. Disamping itu, ia juga menulis novel, naskah sinetron dan film. Sesekali menyutradarai teater, videoclip dan sinetron.


Lebih Lanjut..

Kamis, 09 Oktober 2008

UNTUK KAU BACA "side 6"

Merahnya Ungu
cerpen: Lintang Ismaya


Angin itu datang tiap waktu, dari berbagai penjuru. Berputar. Ada yang dari barat. Kali ini, angin kembali datang dari timur. Musim demi musim silih menyilih, masing-masing menawarkan ribuan mimpi. Burung-burung terbang, mengikuti angin musim. Harapan demi harapan mekar. Keabadian hanya ada dalam kenangan.
Masih kusimpan, saputangan yang menyimpan air mata, –luka batihnmu. Malam itu; mengunjungi bola matamu, tak kutemukan lagi warna pelangi. Binar-binal manja kekanak-kanakkanmu kepadaku, –tak mencuat kepermukaan. Ada apa denganmu?
Sarang laba-laba jadi tabir di pintu bola matamu yang purnama. Bentangan-bentangan jaringnya membentuk irisan cahaya, semacam warna pelangi. Ada matahari di belakangnya, –semacam bola api dendam. Ada apa denganmu?
Kenapa estetika bola matamu diganti dengan motif matahari yang dijaring sarang laba-laba? Meski benang-benang halus sutra laba-laba memantul bias matahari, –memancarkan indah komposisi pelangi. Namun itu bukan pelangi yang biasa aku temukan di binar-binal bola matamu. Ada apa denganmu? Kehilangan pelangikah seperti aku?
Hei,.. adakah dikau mengganti kedua bola matamu saat musim liburan panjang? Musim apa yang sedang mengatmosfir di kedua bolamatamu kini? Tancap kayon sudah aku digiring fijar matamu, –mengembara ke negeri enigma. Bicaralah?
Tak henti-henti air matamu mengalir, haruskah setiap luka kerap dibasuh tangisan? Tidak. Selalu saja ada kelokkan dalam menempuh ini hidup, begitulah, –kenyataan tak seindah yang dibayangkan. Ada batas-batas yang tak bisa ditembus dengan logika. Kau tahu? Kesadaran tertinggi adalah pasrah dalam segala hal. Benar, kita sudah mengetahuinya, persoalannya sekarang adalah, –tentang perakteknya.
Look. Lihat-lah, lengan kirimu sekarang bertato. Tato bunga melati, –berhias motif bulu cendrawasih. Sejak kapan kau jadi liar? Melati?
Shell we get married? Maukah kita menikah?”
But Why are you asking? Kenapa kamu bertanya?”
Tatto. Do you want to get married? Tato. Apakah kamu ingin menikah?”
“Aku pernah berpikir tentang perkawinan, tentang keluarga, tentang hidup berumah tangga. Itu dulu. Belakangan ini tidak pernah terpikirkan lagi?”
**
Angin itu datang tiap waktu, dari berbagai penjuru. Berputar. Ada yang dari barat. Kali ini, angin kembali datang dari timur. Daun-daun dipangkas angin dari tangkainya, –melayang-layang tak jelas gerak dan arahnya, sebelum akhirnya jatuh ke bumi. Guguran demi guguran daun, diasuh detik; menjadi humus. Menyuburkan pohon. Melahirkan pohon. Memberi harapan baru. Keyakinan hanya ada dalam diri.
Keabadian itu tak ada dalam pertarungan hidup. Yang ada hanyalah kemuliyaan, dimana suatu problem adalah arena perjudian dibungkus cuaca hati. Dimanapun aku berpijak, di sanalah rumahku dalam naungan sukma tanpa area kata-kata sebab nurani telah terpatri di dasar jiwa.
Sendiri menemu sepi dalam mimpi. Aku yang terpaut dalam galau hati, entah kekuatan apa yang menggali inti rasa, tiba-tiba saja aku terjerat asmara. Aneh memang, –adakah ini yang dinamakan: demikian rahasia hari-hari yang kita lewati? Padahalal diri ini merindu hadirnya entah, –bukan itu.
Infatuation, ketertarikan sesaat. Ketertarikan sesaat? Hanya tergila-gila sebentar, belum sampai tingkat ketidakwarasan. Kewarasan adalah keadaan otak dan cinta melampaui otak. Rasio, logika dan apa saja yang berasal dari otak, –cinta melampaui semuanya. Lalu apa yang menjadi dasar bagi hubungan seperti itu? Infatuation atau ketertarikan sesaat harus berlandaskan sesuatu. Apalagi kalau bukan badan? Satu badan menarik badan yang lain. Satu badan terasa menarik oleh badan yang lain. Satu badan tertarik pada badan yang lain. Seks? Mungkin?
Pikiranku melayang, terkenang pada kisah Sapo, Cynaro de Bergerac, Hamlet; mungkin itu cinta? Yap, tentu cinta; sehingga bisa melampaui batas-batas kelahiran dan kematian. Itu sebabnya cinta disebut abadi?
“By the way. Ngomong-ngomong. Semalam aku berpikir tentang hubungan kita. Selama beberapa hari ini, kita jalan bersama. Setiap hari bertemu. Lalu aku berupaya untuk melihat ke dalam diri. Perasaan apa yang aku miliki terhadapmu. Cinta? Ups, rasanya terasa sulit untuk menjelaskan perasaanku dengan satu kata ‘cinta’. Ada caring—kepedulian. Ada keinginan untuk sharing—berbagi rasa. Ada cinta, ada persahabatan, ada rasa hormat. Bahkan, ada juga rasa rindu kalau belum menerima telephone atau SMS darimu. Campur aduk rasanya. Kita memang tidak merasa saling memiliki, tapi kita sering merasa kehilangan?”
“Sudahlah, jangan berfikir banyak. Tidak perlu memberi nama kepada hubungan kita. Yang jelas bukan seks. Bukan pula cinta. Mungkin kasih?”
“Lalu apa definisi kasih?”
“Akupun tidak tahu. Tak terjelaskan. Kata orang shaleh, kasih itu Allah?”
“Lalu bagaimana menjelaskan Allah?”
“Seperti yang kau bilang; kita memang tidak merasa saling memiliki, tapi kita sering merasa kehilangan. Mungkin?”
“Siapa yang menciptakan kasih?”
“Allah?”
“Kalau begitu, yang diciptakan harus menjaga yang menciptakannya?”
“Maksudmu?”
Shell we get married? Maukah kita menikah?”
But Why are you asking? Kenapa kamu bertanya?”
Kasih. Do you want to get married? Kasih. Apakah kamu ingin menikah?”
“Aku pernah berpikir tentang perkawinan, tentang keluarga, tentang hidup berumah tangga. Itu dulu. Belakangan ini tidak pernah terpikirkan lagi?”
**
Angin itu datang tiap waktu, dari berbagai penjuru. Berputar. Ada yang dari barat. Kali ini, angin kembali datang dari timur. Wangi mawar diterbangkan angin. Terhisap parat ke liang nyawa. Menyengat. Seperti ayat-ayat kauniah, kian aku meraba abatatsa, tafsir demi tafsir mekar, melahap pikir dan rasa, detak jantung tak teratur pacunya; rindu cahaya maha cahaya. Risalah hidup manusia adalah kejelasan.
Ada yang mencintaimu sendirian saja, ketika kau sedang kuncup. Ada yang mencintaimu beramai-ramai, ketika kau mekar dan mulai merajuk, siapa yang akan mencintaimu, ketika kau mulai layu dan membusuk?
Aku kenali engkau, wahai wajah angkuh namun sesungguhnya di hatimu menyimpan gelisah. Aku kenali engkau dari ketegaran raga bak batu karang tahan gelombang di lutan, namun sebenarnya jiwamu rapuh. Diplomasi dalam meja kantor, pemecahan masalah, konsultan, tak diragukan lagi, feminisme adalah trade mark dirimu. Nyaris tak ada cinta di wajahmu. Tidak merindukan datangnya seorang pemimpin, untuk melunaskan kesepian demi kesepian hari-harimu. Aku tahu, dibalik topeng siangmu; setiap malam, sambil tiduran, kau habiskan membaca buku-buku novel, kisah-kisah romantik, menghayal tentang terjadinya prosesi sebuah pernikahan yang begitu takjub, ajib dan sempurna.
Para bidadari bertindak sebagai pendampingmu, dan mengangkatkan gaun pengantinmu. Di belakangnya para bidadara bersikap kesatria, mengawal engkau, yang riang bersepuh harap-harap cemas, menunggu kedatangan pangeran pilihan hati.
O, aku tahu semua itu dari sorot matamu. Aku tahu semua itu dari bantal-guling yang kau keloni, menyisakan karat purba yang amis telur. Jangan kau dustakan diri dengan kedok keangkuhanmu. Ketegaran batu karang di lautan yang kau hisap menjadi sari pati tubuhmu, sesungguhnya itu semua ketidak berdayaanmu, menghadapi realita.
Semakin kau menghindar dari kenyataaan hidup, kian jauh dari angan-angan yang kau cita-citakan. Pejamkan matamu, menyelamlah kedasar laut pikiranmu, biarkan kejujuran berbicara apa adanya. Sebab di sana tersimpan cahaya Illahi.
“Hiburlah hatimu waktu demi waktu,… karena hati yang lelah akan buta. Cinta apa yang sedang kau tunggu? Kasih apa yang sedang kau nanti? Siapa yang menggerakkan pikir dan rasa?”
“HujahNya!”
Shell we get married? Maukah kita menikah?”
But Why are you asking? Kenapa kamu bertanya?”
HujahNya. Do you want to get married? HujahNya. Apakah kamu ingin menikah?”
“Aku pernah berpikir tentang perkawinan, tentang keluarga, tentang hidup berumah tangga. Itu dulu. Belakangan ini tidak pernah terpikirkan lagi?”
“Janganlah berhenti di terminal pengalaman. Setiap terminal harus dilewati, dilalui; ditinggalkan demi perjalanan itu sendiri. Kebebasan dari terminal pengalaman, itulah hujahNya. Itulah kebebasan sejati!”
“Tapi kita terpatok nada; sahabat?”
“Sssst,… I love’u?”
Angin itu datang tiap waktu, dari berbagai penjuru. Berputar. Ada yang dari barat. Rab, kali ini, angin kembali datang dari timur. Warna pelangi di bola mata kita, yang sempat menghilang, kini kembali kita temukan; di hujahNya!*** bumiemih, 30092008



________
Lintang Ismaya. Nama pena dari Doni Muhamad Nur, Lahir di Tasikmalaya pada tanggal 01 oktober 1979 dari pasangan alm. Y. Yuhana Sulaiman dan Rd. Sarah Solihati. Baginya: menulis puisi, Cerpen, esai, artikel kebudayaan, naskah drama, naskah sinetron dan film adalah keisengannya yang menjadi kebiasaan disenggang waktu, –dalam menghabiskan sisa umur atas karunia-Nya. Sempat jadi redaktur khusus di majalah Seni & Budaya “Suara Cangkurileung Bandung” dari tahun 2002-2004 dan kameramen “Magang” di Pusat pendokumentasian Audio Visual STSI Bandung. Pada tahun 2007, bekerja sebagai skrip & director di taZtv. Tahun 2008, sebagai pembina kesenian, program DISBUDPAR JABAR gawe bareng PUSLITMAS STSI Bandung, merevitalisasi Angklung Badud yang sudah hidup ± 130 tahun. Adapun tulisan prosanya tersebar dan hadir diberbagai terbitan mass-media, baik nasional, daerah, maupun lokal. Alumni STSI (non semester) Bandung pada Jurusan Teater, –Program Studi Penulisan. Adapun antologi puisinya yang telah terbit diantaranya: Orasi Kue Serabi (GKT 2000) Bandung dalam Puisi (YJBS 2001, 2002) Enam Penyair meminum Aspal (SST 2002) Poligami (SST 2003) “antologi penyair Jawa Barat-Bali” ROH (bukupop 2005) dan beberapa Antologi puisi lainnya. Adapun novelnya yang akan segera terbit dengan judul HypoCritE & Sekeranjang Cinta. Kini beliau menjabat sebagai Presiden Komunitas mEdoMe Bandung, Ketua Umum Indonesia Bangkit Persada Enterprise Tasikmalaya dan Instruktur Teater Dongkrak Tasikmalaya. ***

Lebih Lanjut..

Sabtu, 20 September 2008

UNTUK KAU BACA "side 5"

Lintang Ismaya

KEPADA PENYAIR PUNK
--Ratna Ayu Budhiarti--

Pipi kiri bertato melati
Rambut mohek sewarna darah
Hidung tertancap paku
Tipis bibir bawah menggelayut gelang

Kulit lengan penuh tato
Tubuh ceking kurus
Berabad-abad mencari cinta
Menangis di persimpangan

Gulungan kenagan
Jalan-jalan salah alamat;
“kepada cinta, aku telah
tenggelam dalam tiada”
Teriaknya.

Langkah-langkah dipatahkan
Waktu
Detik jam mendorong bumi;
”aku akan tetap mencintai-Mu
karena hanya Engkau yang sanggup membuatku
tiada dan tenggelam di lautan kebesaran-Mu”
Isaknya.

Kembali pada titik nol
Fantastik!

2008




Lebih Lanjut..

Senin, 15 September 2008

UNTUK KAU BACA "side 4"

M A H A B A H

"biarkan bathin ini menangis dan berhenti dengan sendirinya"

1.

ada yang mencintaimu sendirian saja

ketika kau sedang kuncup

ada yang mencintaimu beramai-ramai

ketika kau mulai mekar dan merajuk

siapa yang akan mencintaimu

ketika kau layu

dan mulai membusuk?

2.

siapa yang mendatangkan cinta diantara kalian?

pada prinsipnya yang diciptakan harus menjaga penciptaNya

begitulah proses alam yang sebenarnya dalam konsep mahabah

kita sedikit berfilsafat dalam kontek keyakinan padaNya!

3.

aku paham dengan seluruh isyarat yang salah alamat

kata-kata tak menemu makna dalam pencarianku

tapi siapa yang bisa menghanguskan keyakinan

ketika dian itu dinyalakan tak terduga adanya

demikianlah yang diciptakan mendapat titipan

dari yang menciptakanNya

biarkan aku menjadi setitik debu yang mungkin

mengotori baju kebesaranmu

biarkan debu itu menemu titik klimak kejatuhannya

dimana yang menciptakan kita punya kehendak

hanya takdirNyalah yang bisa meruntuhkan keyakinan

mungkin ini sedikit konyol dan kamuplase

namun realita hidup siapa yang bisa menolaknya?

biarkan debu itu lenyap dengan sendirinya

bahkan mungkin debu itu yang akan menjadi mahkota

kebesaranmu detik waktu mendorong usia bumi

satu detik ke depan kita takan pernah tahu

rencana apa yang sedang disusun penciptaNya

yang terang dan jelas

keindahan adalah denting dawai hati kita

yang rindu Cahaya Maha Cahaya

4.

bahasa dan jarak adalah

cinta dan kebencian yang tipis batasannya

mengakui itu memang sulit

biarkan cerita ini menemu

endingnya sendiri

satuhal yang harus terjaga

ukhuwah dalam bingkai silaturahmi

jangan sampai hangus

sebab itu kunci hidup maghfirahNya

jangan sampai terjebak pada sombong

yang menjauhkan ambang wangi surga

untuk dicum apalagi dimasuki

5.

hati mati langkah terpatri

ini yang harus dihindari

gelisah memang melodi hidup

jadikan ketidaknaymanan ini

sebagai gerbang hidayahNya

satu pintu tertutup

seribu pintu terbuka

bagi hati yang berfikir

inilh risalah hati yang diciptakan

oleh penciptaNya hanya kepala dingin

pikiran yang tak terombang ambing

yang bisa mentafakurinya

menjadi sebuah hidangan syukur nikmat

dari dan atas kehendaknya

6.

senja dilahap malam

pribadi menilai pribadi

saling membaca dalam pikir dan rasa

impian demi impian lebih subur mekar

ketimbang musim itu sendiri

yang menawarkan ribuan mimpi

demikianlah adanya kita tak bisa

membaca dengan pasti atas enigma pencipta

7.

sejatinya yang diciptakan

hidupnya hanya tujuh hari

kejelasan adalah risalah hidup yang diciptakan

sebelum bunga rampai menghias tanah merah

harapan itu ada

pencipta yang senang membolak balikan hati

tak pernah terbaca gerak dan arahnya

dikehidupan yang akan datang

bilamana kita dipersatukan?

rahmat atau kutukkah?

tak ada yang bisa menjawab dengan pasti

selain izrail yang merayapi usia rambut kita

dengan ribuan catatan peristiwa

yang tengah dan telah disaksikannya

atas kehendak pencipta



Lebih Lanjut..

Senin, 08 September 2008

FESTIVAL RAMADHAN 2008


                                              PENGANTAR

 
 Allahu Akbar! Allah Maha Besar dengan segala ciptaanNya, dengan segala keagunganNya. Segala puji bagiMu ya Allah yang telah menciptakan Ramadhan sebagai bulan suci, bulan penuh pahala serta ampunan, menjadi sarana untuk menjemput indahMu, di dunia dan alam baqa.
 Dalam kesempatan di bulan yang mulia ini, kawan-kawan kami, sejawat kami, serta putra-putri kami yang peduli akan syi’arMu, berhimpun diri untuk memuji kesabaranMu melalui kreasi seni sebagai bentuk dan manifestasi dari keindahanMu yang azali.
 Melalui amalan di bulan ramadhan ini kami ingin mendekatkan diri kepadaMu dari berbagai sisi kehidupan, di samping ibadah-ibadah mahdoh juga yang goer mahdoh berupa kreativitas seni merujuk pada cerita-ceita mulia sebagai “Ahsanul Qashash” dalam kitab suciMu yang siddiq dan otentik.
 Kami ingin hidup ini penuh dimensi, bervariasi, penuh kreasi, karena kami di anugrahi kemampuan untuk itu, untuk menciptakan sesuatu karya kreatif sebatas kemampuan kemanusiaan yang kami miliki. Kami terinspirasi dengan konsepMu yang Agung dengan syariat puasa ramadhan yang nampaknya menyiksa diri tetapi sesungguhnya bermakna menghargai diri.
 Siapa bilang dalam lapar tidak ada keindahan? Kecuali bagi orang yang tak pernah mau lapar. Siapa bilang lapar tak bisa dikenang sebagai suatu kesenangan. Ketika lapar itulah indahnya suara adzan terasakan bagaikan vonis kemenangan perjuangan. Bunyi bedug pun terasa sangat menyenangkan. Seteguk air bagaikan pembayar lunas semua dahaga di seharian. Belum lagi kebahagian yang dijanjikan Allah kelak di kemudian hari yang akan diberikannya secara langsung.
 Kami ingin membuat sesuatu yang nampaknya sedih dan memilukan tetapi sarat kemulian dan keindahan. Betapa indahnya keteguhan iman, kekokohan keyakinan. Itulah “Masyitoh” ikon wanita muslimah, yang akan menjadi garapan utama dalam kreasi seni ramadhan yang diselenggarakan UKM PEMANIS STSI Bandung. Masih banyak seni-seni religius lainnya yang akan kami tampilkan, baik puisi maupun musik, dan tak ketinggalan group yang senantiasa hadir di dalam event-event seni Islami, yaitu At Thawaf yang handal dalam nada dan da’wah dibalut pesona vocal dan instrumental yang spiritual.
 Itulah curahan kegembiraan kami di bulan ramadhan, semoga para penggagas, para pendukung, para pemain dan simpatisan mendapat pahala dan kebaikan di bulan suci ramadhan, karena semua ini kami persembahkan untuk kebesaran ramadhan yang merupakan pembuktian diri manusia sebagai manusia yang seutuhnya. Akhirnya segala sesuatunya kami kembalikan kepada yang Maha Suci, karena kami hanyalah manusia biasa yang terkena salah dan lupa. Semoga Allah mengampuni kekhilafan kami.

 Bandung, 17 September 2008

  Ketua STSI Bandung


                                           FESTIVAL RAMADHAN 2008
                                                    “sastra & ramadhan”

Kenapa Dinamakan Sastra & Ramadhan?

Konsep Garap: merujuk pada perkataan Saini KM, teater adalah sastra yang teatrikal, di sini yang harus digarisbawahi oleh kita adalah kata teater, sastra dan teatrikal. Sepertihalnya penalaran deduktif kata teater yang mempunyai arti: segala sesuatu yang dipertontonkan dan di pertunjukkan dinamakan teater. Jadi apapun jenis & bentuk kesenian (baik format gelaran maupun format pameran) bisa dikatakan teater, seperti halnya pameran seni rupa bisa dikatakan teater, mengapa? Di sana ada sang curator yang menjabarkan arti karya si pelukis/instalansi/display/pematung dengan bahasa verbalnya yang nyastra, dan tentu saja gaya penyampaian bicara sang curator pada si apresiator (yang sedang menyaksikan pameran tersebut) dengan menggunakan pola teatrikal, dimana tujuannya, --si apresiator tertarik pada karya lukis si pelukis (seniman) yang pameran dan menarik minat untuk dibeli. Begitupun pada pementasan tari, seni dakwah dan lain-lainnya. 
Dalam rangka menyambut bulan ramadhan, dimana di dalam bulan tersebut terkandung malam 1000 Bulan. Atau yang kita sebut malam lailatul qodar. Dalam setiap tahunnya, telah menjadi tradisi PEMANIS, untuk mengadakan pagelaran dalam format/tema besar; memperingati malam nujulul qur’an.
Tema di atas diusung dari kerjasama PEMANIS dan UPT AJANG GELAR, yang mempunyai tema: Gelar Puisi Ramadhan. Maka untuk mempersatukan tema yang diberikan UPT Ajang Gelar, di mana pemanis punya tema Korma Manis (Kontemplasi Ramadhan ala Pemanis) dalam tema tersebut, pemanis punya beberapa program; Teater, tari, seni rupa dan musik. Maka untuk menjadi satu kesatuan yang utuh, (UPT Ajang Gelar & PEMANIS) tema besar yang diangkat menjadi Festival Ramadhan, dimana di dalamnya terkandung Sastra & Ramadhan.


Manager Floor Director

Lintang Ismaya 




Lebih Lanjut..

Sabtu, 30 Agustus 2008

UNTUK KAU BACA "side 3"

Lintang Ismaya

Sobat

Rindang lengkung mayung widara murung
Angin bertiup setengah hati
Tetes hujan mulai reda
Namun asa silih menyilih
Alamat-alamat terlalu banyak

Alun nada irama diri
Yang terang dan jelas
Ulu kehilangan arah

Buritan rindu tak menemu dermaga
Untuk melabuhkan kasihnya
Dimana pikir dan rasa
Hidayah dari Sang Hyang Tunggal
Ingin aku layarkan kata-kata ke seberang laut pikiranmu
Alangkah indahnya, --bilamana itu terjadi; sebab
Risalah manusia adalah kejelasan
Tetapi apa dikata;
Ikrar kita, --mengapa harus terpatok nada

2008
Lebih Lanjut..

Senin, 30 Juni 2008

UNTUK KAU BACA "side 2"








entar
tiba pada suatu titik
dimana kita akan ngerti
siapa yang pernah berarti
siapa yang sedang berarti
dan siapa yang akan selalu berarti
jadi jangan selalu sering
menengok masa lalu
karena setiap orang punya alasan masing-masing
untuk tidak hadir di masa depan!



met pagi rab, ...
gw tidur dulu ya, ...
wish you all
happy good morning, ...

o, yap, ...
hampir aja lupa, ... eum, ...
salahkah jika aku mencintai
sahabat karibku sendiri?
Lebih Lanjut..

KOMPAS "30 juli 2008" HUMANIORA


ANGKLUNG BADUD
DI TANGAN PENYAIR

Oleh: Tomy Himura


“Apa yang akan terjadi di atas pentas, bila seorang penyair menyutradarai seni tradisional (buhun) “Angklung Badud” manakala jenis kesenian helaran ini diperkirakan sudah mencapai ± 130 tahun?”
Tidaklah heran bila seni akting di atas panggung (Teater) disutradarai oleh seorang penyair. Di Indonesia, sudah tentu; itu hal yang lazim, --katakanlah seperti W.S. Rendra, Putu Wijaya, Rachman Sabur dan Suyatna Anirun. Inilah yang menarik perhatian penulis untuk membahas Seni Buhun Angklung Badud, dari Kelurahan Sukamaju Kaler, Kecamatan Indihiang, Kota Tasikmalaya. Rakean Wanen Ismaya (salah satu nama pena dari 9 nama pena yang dimiliki oleh Doni Muhamad Nur), memperlihatkan bentuk baru hasil revitalisasi dari kesenian ini di Teater Terbuka Taman Budaya Dago Tea House, Bandung Sabtu (28/06/08) malam.


Konsep Garap

Pementasan Angklung Badud kali ini, Ismaya menggiringnya pada konsep garap oratorium. Pagelaran dibuka dengan tampilnya Sang Badud (berbarengan dengan musik pembuka/overture) yang digambarkan sebagai pria konyol, namun punya ilmu kesaktian yang tinggi. Kemudian sang badud mendekati jampana. 3 menit berlalu, kemudian muncul arak-arakan dari 2 arah yang membelah panggung, meliuk-liuk seperti ular haus mangsa; pasukan tersebut, adalah tim dogdog dan tim angklung yang mengiringi tim jampana. Kemudian tim jampana mendekati jampana yang sudah ada di tengah tengah panggung. Sang badud memanggil anak yang akan disunat dan menuntunnya ke kursi bambu (jampana). Setelah anak duduk. Kemudian tim angklung mengerumuni jampana itu, membentuk lingkaran dalam wujud kerucut. Dikatakan Ismaya, “kerucut dibuatnya adalah sebagai perlambang antara dunia atas tengah dan bawah”.
Sebelum anak itu di arak untuk turun mandi, sang badud merajah anak tersebut, sebagai perlambang doa untuk keselamatan. Perlahan-lahan kerucut yang membungkus jampana membuka dan penari masuk dari arah penonton, menaburkan bunga melati kepada para penonton yang hadir, calon pengantin sunat dan seluruh tim angklung badud. Sementara sang badud menyalakan parupuyan, sebagai symbol sempurnanya rajah. Di sini, Ismaya pun punya alasan tersendiri, mengapa bunga melati yang dipilihnya? “Melati, khususnya di dunia timur, sebagai perlambang kelahiran, perkawinan, dan kematian. Bukankah sunatan pun, sebagai perkawinan alam kaum ikhwan yang beragama islam, dimana sunatan, adalah sunah Rassull yang wajib dilaksanakan. Disamping untuk kesehatan. Pun alasannya sangat logis, sunatan, sebagai symbol lelaki menuju akil balig”.
Upacara ritual pun selesai dilaksanakan. Tak lama dari sana, muncul tim kuda lumping. Setelah beberapa saat beraksi. Sang badud memerintahkan kepada seluruh timnya untuk mengarak calon pengantin sunat menuju balong. Lagi-lagi di sini, Ismaya punya symbol tersendiri akan pemilihan kuda lumping; “kuda lumping dipilih, sebagai symbol kejantanan. Bukan berarti kuda lumping itu symbol black magic”.
Sesampainya di balong, sang anak dimandikan. Kegunaan mandi ini, sebagai penyucian diri dan juga berfungsi sebagai obat bius. Manakala zaman dulu, belum mengenal obat bius. Supaya anak tidak setres, dalam pemandian yang dilakukan oleh sang badud. Sang badud menyuruh timnya untuk menghibur anak tersebut dengan tari-tarian kocak. Tim penari yang memakai topeng karikatur, kuda lumping yang menari-nari diselingi tingkah sang badud yang bermain silat kocak. Dalam turun mandi ini, sang anak dimandikan dengan air beras. “Dimana menurut kepercayaan orang di zaman dulu, mandi dengan air beras, sebagai perlambang terbentuknya kita dari saripati alam. Dan juga air beras berfungsi untuk melenturkan kulit penis yang akan dipotong (sunat)”.
Turun mandi pun selesai. Kemudian calon pengantin sunat itu, diarak kembali menuju rumah paraji sunat. Sambil menunggu anak yang sedang disunat, sang badud kemudian menyuruh timnya untuk memainkan musik shalawat. Sementara tim penari, menari-nari bak seorang sufi yang rindu Cahaya Maha CahayaNya. Di sini pun, Ismaya, tak luput dari symbol: “dalam sebuah hadist dan riwayat, barang siapa yang mengumandangkan shalawat, maka ruhku (Muhammad SAW) akan hadir dan bertasbih untuk majelis tersebut dan sekitarnya. Shalawatpun saya terapkan, dimana titah sunatan adalah anjurannya yang wajib dilaksanakan oleh kaum muslim”.
Upacara sunatan pun selesai, sang anak kembali hadir ke atas pentas dengan tim jampana. Tim angkung kembali memburu jampana yang ditunggangi sang anak, membentuk symbol kerucut (segi tiga). Kemudian mereka semuanya menyebar, sorak-sorai, sebagai wujud kegembiraan, irama musik yang seenak udel, tarian yang tak teratur, kuda lumping yang motah. Hal ini disuguhkan Ismaya, “sebagai wujud ekspesi naluriah kemanusiaan yang melampiaskan kegembiraan, manakala sang anak telah berhasil melaksanakan sunah Rassull, sebagai bentuk jihad pula dalam menegakkan syariat islam. Adapun kerucut yang terakhir ini, sebagai symbol sudah terkelupasnya kulit yang menutupi kepala jakar”.
Kegembiraan yang tak terkendali, disadarkan kembali oleh sang badud, kemudian seluruh tim angklung badud, memainkan musik bribil, dengker & bangsower. Sang anak yang masih duduk di atas jampana, setelah turun dari pundak pembopongnya, sang anak disuguhi tarian semacam adu manis yang disusul dengan demo kuda lumping. “Hal ini saya maksudkan, manakala tarian semacam adu manis ini, sebagai symbol kedewasaan. Dimana sang anak harus melanjutkan keturunan. Dalam agama islam. Perkawinan adalah bagian dari separuh perjalanan, --menjalankan syariat islam. Sedangkan demo kuda lumping, saya maksudkan, --dimana hidup adalah lembah dan jurang yang harus kita maknai. Manakala hidup adalah rangkaian pelajaran yang harus dihayati untuk dimengerti”.
Suguhan tari-tarian pun usai dilaksanakan. Kemudian Sang Anak diarak kembali. Untuk menuju kediaman rumahnya. Oratorium pun selesai. Sebuah pertunjukkan yang syarat symbol itu, hasil dari revitalisasi, dikemas secara apik oleh Ismaya. Dengan alur kisah untuk memberikan pemahaman kepada para apresiator, dimunculkannya suara narator.
Percaya atau tidak, menurut Ismaya, pementasan yang cukup spektakuler ini, dipersiapkan hanya dalam waktu 10 hari saja. Dimana Ismaya mendapat tugas dari DISBUDPAR Provinsi JABAR yang bekerjasama dengan PUSLITMAS STSI Bandung, untuk mengadakan pelestarian budaya, pada jenis-jenis kesenian buhun yang hampir punah. Ismaya datang ke Kota Tasikmalaya tentu tidak sendirian, ia dibantu oleh Dadang Hriyanto (Sarjana Tari) dan Usman Suhana (Sarjana Karawitan). Sedangkan Ismaya sendiri, yang lebih terkenal sebagai penyair, ketimbang teaterawan, ia lulusan STSI dari jurusan Teater, program studi Penulisan. Inilah yang membikin decak kagum apresiator malam itu. Lain halnya, bila Ismaya lulusan program studi Penyutradaraan di Jurusan Teater. Ismaya yang membikin skenarionya sendiri, sekaligus menyutradarainya. (Red. --baca kompas 30 juni 2008)

Sejarah

Dalam bentuk aslinya, pada jenis kesenian helaran ini, hanya ada tim dogdog dan tim angkung yang dipimpin seorang badud. Manakala 1 buah trompet, dogdog ada 4 buah dan angklung ada 13 buah. Dimana 2 angkung disebut tilingtit dan 11 angklung disebut rowel. Adapun, iringan yang membawa beras dalam boboko, adalah keluarga si pengantin sunat. Sedangkan anak calon pengantin sunat di gandong oleh sang badud.
Badud di sini, tidak sembarangan badud, namun orang yang mempunyai kesaktian. Karena saat itu situasi masih dalam suasana belum merdeka, seni angklung badud ini dipimpin oleh sosok seorang pemberani yang kesehariannya selalu memakai busana khas, sehingga dijadikan sebagai kokolot/lengser yang bertugas memimpin arak-arakan tersebut, yang kemudian orang tersebut diberi istilah dengan sebutan badud. Kemudian pada perkembangannya jadi popular dengan sebutan Angklung Badud.
Dikatakan Ismaya, berdasarkan cerita dari Mak Icih (77 th), sebagai pewaris asli yang masih hidup: “angklung badud ini diciptakan oleh bapaknya Mak Icih (Aki Satimi), kemudian diturunkan pada mantunya, Abah Wadma (suami Mak Icih yang meninggal dunia pada usia 83 tahun di tahun 2004). Sebelum sampai pada kepemimpinan sekarang, Kang Unang Bolu, ada 3 pimpinan yang lupa lagi namanya. Menurut Mak Icih, Aki Satimi memperoleh ilmu silat dan musik angklung ini dari Nyi Ronggeng. Dan tidak menutup kemungkinan asal-usul kesenian yang dipimpin bapaknya di zaman dahulu adalah warisan dari Nyi Ronggeng, sebagai guru spiritualnya Aki Satimi. Sedangkan guru Nyi Ronggeng, Mak Icih tidak mengetahuinya secara pasti”.
Jenis kesenian helaran ini, disamping sebagai arakan pengantin sunat, pun di zaman dulu berpungsi sebagai penghibur lomba Layangan, Panahan dan arakan serta hiburan Kawinan.
Berdasarkan cerita Mak Icih yang kembali diceritakan Ismaya kepada penulis: “setiap malam selasa dan malam jum’at. Angkung & dogdog suka dikasih sesajen. Dan suka hidup sendiri (bermain musik) tanpa dimainkan oleh orang.
“Angklung ini ada 2 paket. Angklung di zaman kepemimpinan Aki Satimi, berbeda dengan angklung di zaman dalang Abah Wadma. Angkung yang mentas malam itu, adalah angklung di zaman Abah wadma. Dan dogdognya dari zaman Aki Satimi. Hanya trompetnya yang tidak asli. Dimana trompet tersebut, belum bisa diwariskan, oleh pemegang trompetnya di zaman Abah Wadma. Inilah yang membuat regenerasi seniman angklung badud tidak mudah, --karena harus dilakaukan pada keturunan seniman yang asli.
“Seperti yang dikatakan Mak Icih pada saya, hilangnya 1 paket angklung di zaman Aki Satimi, ketika itu, pada saat pagelaran 17 agustus. Dipinjam oleh warga desa, tempat kelahiran Aki Satimi. Namun angkung tersebut tidak pernah lagi kembali. Zaman genting di tahun 63, krisis ekonomi, --ketika aki Satimi mau meminta angklungnya kembali pada warga, angklung tersebut sudah jadi suluh dan orang-orang yang membakar angklung tersebut (sebagian orang yang masih hidup di zaman Aki Satimi yang membakar angklung tersebut menjadi suluh, untuk menyalakan hawu), kini menjadi tuli dan ada juga yang jadi buta. Seperti kena kutukkan. Wallahu a’lam.
“Menginjak kepemimpinan Abah Wadma, mantunya Aki Satimi; maka regenerasi angklung badud, harus pada keturunan yang asli. Jika tidak, maka angklung tidak mau berbunyi secara nyaring dan menggema, ketika ditabuh.” Wallahu a’lam.
Terlepas dari itu semua, revitalisasi yang dilakukan Ismaya dan soulmetnya (Dadang & Usman, cukuplah menohok. Manakala Tasikmalaya terkenal sebagai julukan kota Santri. Ismaya pun mengemas pertunjukkan kali ini dengan konsep dan symbol yang syarat islami pula.
Malam itu, dalam format Etalase Bambu 3, Program Taman Budaya Jawa Barat, Bandung, Selain angklung badud, ditampilkan pula jenis kesenian serupa. Hasil revitalisasi; Angklung gubrag dari Kabupaten Bogor dan angklung sered dari Kabupaten Tasikmalaya.
Angklung telah memberikan warna di berbagai kesenian tradisional di Jawa Barat. Sepertihalnya seni Angkung Badeng dari Garut, Seni Angklung Ujo dari Bandung. Seni Angklung Badud yang sempat menghilang ini, yang sudah direvitalisasi oleh Ismaya, adakah akan menghilang kembali? Apa tindak lanjut berikutnya DISBUDPAR JABAR umumnya, serta DISBUDPAR Kota Tasikmalaya hususnya, untuk melestarikan kesenian angklung badud ini yang konon usianya sudah mencapai ± 130 tahun?***1 juli 2008***

_______
sepenggal tulisan ini pernah dipublikasikan di majalah GONG
tulisan ini di ambil dari blog tomy.maulana.co.cc


Kalau yang di bawah ini. tulisan orang lain, --ditulis oleh Wartawan KOMPAS JABAR.



Lebih Lanjut..

Minggu, 25 Mei 2008

J A T U H

Cerpen: Lintang Ismaya

Patahan-patahan kata merangkai kalimat. Manakala kalimat demi kalimat merangkai makna untuk ditafsir. Sebelum huruf membunuh huruf.
Jatuh. Sebuah kata yang syarat makna. Bisa berarti jatuh dalam segala hal, tergantung kata demi kata yang menjadi aksesorisnya:
“Apa yang dikau lakukan ketika jatuh?”
“Terkadang marah, kesal bahkan mengumpat Tuhan segala?”
“Itulah hidup. Semestinya, kita senyum; bila mengalami hal tersebut. Jika dikau jatuh, --sesungguhnya ada sebuah jalan yang menjadi enigmaNya?”
Percakapan itulah, yang masih tersimpan rapi di dalam diaryku, beberapa tahun silam; ketika kami sudah mulai akrab. Ia seorang perempuan. Namanya Rab. Aku menyebut dirinya sebagai malaikat kecilku. Gadis cantik berparas keturunan Indo-Jerman. Lahir dan besar di tanah Sunda. Hobinya menulis puisi. Orang-orang menyebutnya sebagai penyair sensual nan sexy, senyumnya yang etnis, bikin gereget kaum lelaki bila beradu pandang dengannya.
Potongan hujan jatuh satu-satu
Menjadi bunyi. Merekahkan gairah
Yang nyaris layu dalam kalbu

“Hai, masih suka tidur di kampus? Besok aku akan datang jam 9 tepat. Dikau sudah bangunkan?” Sebuah SMS singkat aku terima.
“Tikus kampus maksudnya? Yap, aku tidur di UKM. Jam 9 aku sudah bangun kok? Aku tunggu ya?” Jawabku.
Rab? Aku baru sadar, bahwa SMS itu datangnya dari Rab. Aku pikir dia sudah melupakanku. Aku pernah membikin ia kecewa, --gara-gara SMS-SMS gelapku yang aku kirimkan padanya. Tujuanku bercanda. Tapi akhirnya dia tahu, siapa yang candainya selama ini. Susah memang, dia benar-benar pintar, di samping cantik, keibuan lagi. Rab, tahu persis gaya bahasaku. Itulah kemarahannya padaku. Sejak itu, kami jarang bertemu dan berkomunikasi, meski via SMS sekalipun. Rupanya Rab benar-benar membenciku.
Malam melayang jatuh
Bagai lembaran daun gugur
Angin tiris menggarisi sisa usia
“Tahun 2008”. Bibirku bergumam, seraya pandangan mataku jatuh pada almanak yang menggantung di dinding kamar (UKM), persis di atas meja yang menampung monitor komputer dan buku-buku. Teringat kembali akan Rab, ketika kami sering bertemu. Tak cukup banyak kenangan sih, sejujurnya. Tapi kenangan memang tak bisa dikuburkan:
“Bukan makanan yang masuk ke tubuh kita yang membikin kita sakit. Tapi ada pikiran-pikiran lain yang mengganggu organ tubuh. Lihatlah kini dikau punya tubuh? Kurus, garing. Ketika jatuh, janganlah terlalu didramatisir, yang membuat kita sakit dan menjerit tak berdaya; oleh siapa lagi diri kita diobati, kalau bukan oleh diri kita sendiri? Setidaknya sayangilah badan dikau, tidak kering seperti ini? Katanya dikau pernah jatuh. Kenapa dengan jatuh ini, dikau tidak bisa belajar dari kejatuhan-kejatuhan lampau, untuk mengatasinya?”
“Ini masalahnya lain Rab; aku sudah memplanning semuanya dengan sempurna?”
“Impian tak seindah yang dibayangkan. Dikau ingat itu?” Kilat jawabannya. Tanpa sempat untukku berpikir lagi. Selain mengumpat Sang Waktu:
“Tuhan tidak adil?”
“Eit… kenapa bilang begitu? Bukankah Tuhan Maha Pencemburu? Siapa tahu, saking fokusnya dikau pada sesuatu, akhirnya perintah Tuhan terlupakanlah, --oleh dikau?”
“Itu bagimu, yang tidak merasakan?” Pangkasku. Tak mau kalah. Sementara Rab hanya tersenyum tipis saja disepuh geleng-geleng kepala:
Kembali aku disadarkan oleh Rab, pada kejatuhanku yang entah untuk keberapa kalinya. Tahun 2005, benar-benar duka raya bagiku. Perempuan memang misterius. Sepertihalnya Rab, yang menjelma malaikat kecil; bagiku. Di sisi lain aku jatuh oleh seorang perempuan. Ia pergi meninggalkanku, dengan semua planning yang telah disusun dan disepakati secara bersama-sama. Kuharus relakannya pergi, walau aku tak mau.
Luka cinta, memang sulit untuk diobati secara cepat dan praktis. Tak ada obat yang paling mujarab, selain waktu, kasih sayang dan perhatian.
Meski menggoreskan luka di hati, kenangan demi kenanganku dengannya. Tak pernahku lupa. Terkadang aku suka senyum sendiri bila mengingatnya. Bening, nama perempuan tersebut. Banyak pelajaran yang aku dapatkan, selama merajut cinta dengannya, --memahami segala apa yang kami pandang. Memaknai hidup. Manakala hidup adalah rangkaian pelajaran yang harus dihayati untuk dimengerti. Meski kini, aku trauma untuk menyulam cinta dengan perempuan lain di luar Bening. Bening, --yang menorehkan luka mawar begitu dalam. Tersimpan di palung rasa.
Sejak saat itu, di kampus; aku terkenal dengan sebutan lelaki sepi dan dingin. Terlebih pada mahluk bernama perempuan. Walau Rab, sudah mengingatkanku; --akan tidak bolehnya memelihara keputus-asaan di kedalaman dada.
Matahari menyentuh miring
Menembus kisi-kisi jendela
Hangat dibingkai kicau burung
Dering HPku berbunyi. Bangunkanku dari dunia mimpi. Aku mengangkatnya. Terdengar suara merdu, mengusap pendengaranku:
“Aku sudah di depan mesjid. Dikau dimana? Sudah bangunkah?”
“Yap. Sudah bangun kok, makanya aku bisa angkat telephone?” Jawabku dengan full kebohongan. Padahal aku terbangun gara-gara dering HPku yang aku simpan, persis di pinggir telinga kiriku:
“Cepetan ke sini ya, aku tunggu di masjid?” Balasnya.
“Waduh gawat, mana Rab sudah berada di beranda masjid lagi? Ini hari minggu. Semua WC kampus dikunci. Satu-satunya sumber air ada di tempat wudlhu. Masjid. Ketahuan deh, aku baru bangun?” Bisik bathinku.
Langkah-langkah gelisah, aku susuri. Setelah sebelumnya aku kunci pintu UKM. Dari jarak ± 20 meter, aku sudah bisa melihat Rab, yang sedang berdiri di beranda masjid kampus. Semula aku mau memutar jalan, setelah aku melihat Rab, --aku mau memasuki WC masjid. Cuci muka maksudku. Namun badannya Rab keburu berbalik, matanya persis menatapku:
“Woi, baru bangun ya? Maaf aku ganggu? Wah dikau gemuk sekarang? Pipimu cabi, berdagu dua?” Sapanya, sambil mencubiti kedua pipiku, dengan buku-buku jari tangannya.
Tentu saja aku malu. Tak berkomentar. Setelah bersalaman, aku masuki tempat wudlhu, cuci muka kilat, menggunakan dua jari, jurus kuntau dadakan, membuang cileuh yang membikin lingkaran mini di kedua sudut bibir mataku.
Detik jam bergeser pelan
Di rambut umurku
Yang dirayapi Izrail
Di taman kampus. Kami habiskan waktu siang. Kami ngobrol kesana kemari. Rab terlihat layu. Tubuhnya yang molek nan seksi terlihat kering. Namun aura kecantikkannya masih mendomisili permukaan wajahnya. Senyum etnisnya yang khas belum sirna dari bibir tipisnya itu. Aku baru engeh, ada yang berubah dari tubuhnya, --sejak dari tadi ia datang.
Rab bercerita tentang sebab-sebab tubuhnya menjadi kurus:
“Aku, … kenapa aku bukan yang terpilih? Targetku untuk menikah tahun ini, ya di usiaku ini. Aku ingin menikah di usia ini? Dan bukan cuma itu, aku hancur segala-galanya Dom? Impian-impian yang lain pun musnah? Dikau pasti pahamkan? Kini aku jatuh?”
Aku tak buru-buru menjawabnya. Disamping sulit untuk berkata-kata. Rab yang kerap menjadi malaikat kecilku, bila aku sedang terjatuh. Kini, malaikat kecilku sedang terjatuh. Aku pandangi mata Rab, yang sedang berusaha menahan bendungan air garam yang bersarang di kedua klopak matanya, agar tidak bedah di hadapanku. Aku berusaha mengalihkan perhatian: Aku berlari, keluar dari gerbang kampus. Setelah sebelumnya pamit dulu. Aku pesan satu gelas susu tawar, secangkir kopi hitam dan beberapa batang rokok keretek dari kios depan. Pedagang kaki lima yang mangkal, di pinggir luar, persis dekat pintu gerbang kampus:
“Minuman datang… . Aku masih ingat cerita kecilmu dulu. Mudah-mudahan susu tawar ini, masih kesukaanmu di samping coklat?” Sambutku yang baru kembali dari kios.
Rab, menatapku dalam. Aku berusaha menolak sinar yang dipancarkan sepasang matanya ke arahku. Andai kau tahu Rab, sesungguhnya hati ini larut. Luka. Akan kisahmu itu. Bagaimana aku tidak hanyut akan kisahmu Rab. Aku pernah mengalaminya, meski sudah beberapa tahun lamanya. Bilamana kau masih mengingatnya, --bukankah kau yang kembali menyadarkanku pada realitas yang nyata? Sepasang cincin kawin. Satu rumah mungil yang aku beli secara kredit di sebuah bukit, yang aku siapkan untuk hidup bersama Bening. Raib sudah di tangan pengembang, tak sanggup lagi membayar cicilan. Bukan tak sanggup secara materi, tapi harapanlah yang membiarkan rumah itu melayang ditelan duka rayaku:
“Sebahagianya kegembiraan dan kesenangan yang kau dapat. Sifatnya hanya sementara dan sebetapa lamanya kau menyimpan luka, takkan bisa mengembalikan apapun yang sudah hilang darimu?” Sepontan pikiranku, terucap sudah di hadapan Rab.
“Apa dikau bilang?” Timpalnya.
Tak ada perkataan ulang, yang keluar dari rahim mulutku. Selain aku bercerita tentang kisah-kisahku, selama Rab masih menyimpan kemarahanya atas SMS-SMS gelapku. Selama Rab tidak mengunjungiku. Aku yang berbalik curhat. Aku yang mengabaikan kejatuhannya.
Kami yang duduk berhadap-hadapan. Diam-diam aku telisik seluruh tubuhnya dari ujung kaki sampai ujung rambut. Jejak-jejak kaki telanjang, menempel pada tanah, yang menyimpan hasrat mawar untuk tumbuh secara gaib. Cintakah aku padamu Rab? Sembuhkah aku dari kejatuhanku? Entahlah!
***apriltikampustamanbuaya2008**
Lebih Lanjut..

Rabu, 21 Mei 2008

UNTUK KAU BACA "side 1"

seberapa bahagianya hidup
yang
pernah kau rasakan
tetap berpatok pada ukuran semu
dan sifatnya tak abadi adanya
seberapa dalamnya kau simpan
dan kau kenang derita
tak'kan sanggup membawa kembali
sesuatu yang pernah hilang darimu
manakala hidup adalah rangkaian pelajaran
yang harus dihayati untuk dimengerti!

2008
Lebih Lanjut..

Sabtu, 29 Maret 2008

Roti Bakar

Tak terduga sebelumnya, temanku yang aku suka padanya. yang manakala dia juga marah padaku. Mengunjungiku di pagi hari sekira jam 9 tepat dia satroni aku di kota kembaraku. sesuai dengan SMS nya padaku. Dia datang tepat waktu dari kota kehidupan di masa kecilnya. Pas aku bangun tidur, hendak ke air, mandi niatku. Eh... dia udah datang. Malu aku dibuatnya. Mana aroma nafas dari mulutku bangun tidur belum terbebaskan dari kumur-kumur dan gosok gigi he...3x
Singkat cerita kami ngobrol di sebuah taman yang rindang mayung pohonnya. Pagi yang cerah se cerah wajahnya jika aku pandangi dia. semula kedatangan dia aku memang enggak nyangka banget. so dia super sibuk dan lagi marah besar padaku. Tapi Lain Ilalang Lain Belalang Alias bin Lain Waktu Lain Perkara. Memang dia sudah lama sekali tinggalkanku dan mungkin dia sudah lupa padaku. aku hanya tahu dari blog-blognya. tentang kabar dia sekarang-sekarang ini. aku hanya bisa membacanya tak bisa mengomentarinya. So dia marah banget padaku. Gara-gara photonya aku aplod secara diam-diam dan aku kirimi Puisi-puisi pendek via SMS pake no hp lain. Akhirnya dia tahu bahasaku. Dari sanalah kemarahannya memuncak padaku.

by the way atas asal-usul aku renggang padanya. sebenarnya aku sudah menaruh hati lama padanya. Sejak dia nasihati aku tentang broken hart. Bahkan jauh sebelum itu, ketika aku sutradarai dia di atas panggung teater. Tapi aku tak bisa berbuat apa-apa so dia udah punya gandengan bin gebetan yang keren. Akhirnya aku jatuh cinta pada teman se-kampusnya. Nah itulah yang ketika aku broken hart oleh teman sekampusnya dia datang nasihati aku sampai aku berpikir 180 derajat untuk kembali ke jalan hidupku yang dulu yang suka dengan dunia freelance.

Aku kembali menulis karya-karyaku. aku kembali pada dunia broadcash ku. ketika dia datang pun aku sedang memegang kamera untuk acara yang spektakuler. Diahdiri Gubernur Jabar. Aku salah satu tim peliputnya. Dan dia datang sambil memberi nasihat pada mataku yang sepi.

Itulah selintas pintas aku disadarkan dia.

Ok, kita kembali ke paragraph pertama. Dia datang dan curhat padaku. dia yang semua orang tahu kerap memberi penyemangat ke orang lain. Dia datang dengan segudang masalah. aku heran bin kaget dibuatnya. Enggak salah nich? Pikirku di hati. Dia yang kerap mencuri pandangan kaum adam bila sedang berkumpul. Pagi itu dia kelihatan murung. Sedikit kurus, namun aura kecantikan yang dipancarkan dari raut mukanya tetap saja terlihat dengan sempurna. Seperti biasa bila dia datang aku yang curhat. Pun ketika itu dia hendak curhat, eh aku yang blokir jalan dia untuk curhat. Aku yang bom bardir pikiran-pikirannya dengan pikiranku. aneh memang kenapa ya? Mungkin aku termasuk type orang jahat kalie? apa dikata nasi sudah menjadi bubur heueuh? Kudu dikumahakeun deui atuh? Itu juga pas aku nyadar ketika dia sudah ga ada dihadappanku.

Aku sadar kekeliruanku padanya tapi tiap kali dia datang dan sudah kebiasaanku sejak lama tiap aku curhat aku selalu dan kerap curhat padanya. Ya padanya. Dan dia sendiri tahu. Mungkin juga tidak tahu, tapi berdasarkan catatan otakku aku hanya curhat pribadiku padanya saja. Itulah kenapa aku memborbardir pikiran dia. Manakala dia sebelumnya mau membombardir pikiranku. Jahat aku heueuh? tapi itulah fakta. Aku kerap tenang bila sudah curhat padanya. Mungkinkah karena sifat dia yang sedikit egois namun menyimpan bakat ke ibuankah yang membuatku tenang? Entahlah. Atau Sang Waktu-lah yang sudah mengatur begitu jalan kehidupanku. Kali tiap aku punya masalah curhatku yang pertama kerap pada dia. Aneh memang. Goib. Mistik. Ajaib. Ada rasa keki memang aku lihat dia ketika aku yang jadi curhat. Itu terbukti ketika dia langsung mengeluarkan 2 tangkup Roti Bakar yang dibawanya ketika aku terus nyroscos bicara. Aku paham mungkin niat dia untuk menghentikanku biacara. Tapi aku terus saja bicara. Sambil melahap habis 2 tangkup Roti Bakar yang dibawanya itu. Tanpa aku sisakan sedikit pun untuknya. Jahat aku heueuh?

tapi itu fakta. Dan sekali lagi fakta.

Pagi itu dia cerita tentang hidup dan kehidupannya. Aku ingin nyatakan sesuatau yang terpendam selama ini padanya. Namun nyaliku kecil, bukan disebabkan canggung atau perbedaan prinsip hidup. Dan memang prinsip tiap orang pasti beda. Hanya misi dan misilah yang bisa sama?

Ada sisi dan faktor lain ketika aku takut utarakan perasaan dari hati yang paling dalam, diantaranya mungkin trauma yang manakala calon mertuaku dulu pernah tanya tentang dunia kerja tetapku. Aku yang suka hidup freelance. Jadi so aku ga berani kalau keluarga dia punya prinsip hidup dengan keluarga temannya dia yang udah bikinku cukup lumayan luka. Nanya tentang kerja tetapku.

Mungkinkah setelah aku bisa hidup dengan dunia tetapku, aku bisa nyatakan perasaan terdalamku padanya? Bukankah cinta tidak meminta yang lebih dari apa yang kita miliki? H...3x narsis aku heueuh? Jujur aku ingin kali nyatain perasanku padanya tapi ga bisa. Aku ingin dia menjadi sesuatu yang halal bagiku. O, Wahai Sang Waktu, ... Apakah aku terlalu berlebihan memimpikan semua ini? Aneh. Ajaib. Mistik. Bangun tidur aku ingat dia. Mimpi-in dia pun pernah. Apakah yang harus aku lakukan sekarang? Saat ini aku hanya bisa pasrah pada Sang Waktu yang biasa memainkan irama dan alur kehidupanku. Dia sutradara dan Pemain yang handal untuk semua makhluk ciptaanNya. Tapi ketika dibenturkan dengan Dzikir. Fikir dan Ihtiar, aku mentok lagi! Uh... berat ya hidup ini? Hanya ada jawaban klasik yang bikin aku tenang, namun kadang kerap mangkel di hati, -- bila jodoh takan ke mana. he...3x keki memang!***

Lebih Lanjut..

Sabtu, 15 Maret 2008

Bahasa Kamera Lebih Sensitive Ketimbang Bahasa Panggung

Sebuah pertunjukan apapun (khususnya teater) kerap memberi sebuah kabar dan katarsis, bagi si apresiatornya. An Ordinary Day sebuah teks drama karya Dario Fo (Italia) pada tanggal 30-31 Januari 2008 dipentaskan oleh kelompok Teater yang menamakan diri Behindtheactor’s dengan sutradara Asep Budiman. Di CCF the Bandoeng.
Dalam booklet pementasan, An Ordinary Day, cukup meriah oleh sambutan para kritikus sastra dan pengamat teater, seperti: Prof. Drs. Jakob Sumardjo, Benny Yohanes S.Sn. M.Hum, Wicaksono Adi dan Septiawan Santana K., secara domain, mereka memberi pengantar yang cukup menarik untuk lebih memahami/sebagai gerbang awal untuk menghayati alur isi naskah yang dibuat oleh Dario Fo. Dimana calon apresiator digiring dari berbagai arah pandangan/kacamata yang berbeda, untuk memahami isi teks drama An Ordinary Day. Hal ini tentu saja sangat langka khususnya di Indonesia, dalam sebuah pementasan teater, si calon apresiator, dengan disuguhi banyaknya kata pengantar (semacam catatan dramaturgi). Pementasan ini didukung oleh Yayasan Kelola dan Dewan Kesenian Jakarta.
Bukanlah karya pertama yang diusung oleh kelompok teater Behindtheactor’s, dengan sutradara Asep Budiman (Asbud), sebelumnya kelompok ini berhasil menghipnotis penonton dengan karyanya yang berjudul Fatum, Hellego Helero, Humanus Balonitus dan lainnnya. Jadi bukanlah factor keberuntungan, jika para pembicara di atas memberikan tulisannya untuk dimuat di booklet.
Namun pada pementasan kali ini, sangat disayangkan dengan keterjebakkan konsep visual yang diterapkan Asbud dalam konsep penyutradaraanya kali ini, mengapa demikian? Ini tercermin dari sikap penonton yang lebih asyik menyaksikan visual ketimbang aktor yang sedang beraksi di atas panggung. Hal inilah yang membuat penulis tertarik untuk mengomentari pertunjukkan ini.
Naskah yang dibuat Dario Fo, domain pada monolog/ soliloquy sang aktris dengan tokohnya Julia yang diperankan (Evi Sri Rejeki “Evi”). Disini pun Asbud rupanya kurang cermat dalam meng-kesting, mengapa yang jadi Julia bukan Dewi Hikmah Wulandari (Dewi) disini Dewi berperan sebagai Katie. Tentu saja hal ini sangat berpengaruh, ada yang dilupakan oleh Asbud, ketika Julia (Evi) bermain-main dengan Frame kamera yang dioprasikkannya sendiri, dan gambar hasil rekaman kamerannya secara langsung dimontasekannya kembali via Proyektor, untuk dikonsumsi apresiator. Inilah kekurang telitian Asbud, bahwasannya bahasa kamera tidak sama dengan bahasa panggung, dalam kamera yang paling kuat untuk ditonjolkan adalah visual mimic, bukan visual verbal (kata-kata). Evi disini kurang mengusai visual mimic, ketimbang Dewi yang cukup pas secara intonasi verbal pun secara mimic, dimana kekuatan soliloquy sepenuhnya terletak pada kekuatan actor. Ada apa dengan casting?
Dari kekurangan ini, merambat pada pengambilan gambar Asbud yang memvisualkan sebuah adegan drama situasi dalam layar tv (boleh dibilang Sinetron) yang diperankan Nendah Herawati dan Latif Prayitna, yang seolah-olah adegan tersebut murni dari sebuah acara televisi yang sedang ditonton Julia (Evi), secara pengambilan gambar, frame demi frame yang disuguhkan kurang tepat dalam komposisi pengambilan adegan, dalam artian bahasa kamera, baik secara pengambilan angle master maupun angle close-up, dan angle two shoot. Inilah kekurang telitian Asbud dalam mengambil adegan tersebut. Asbud mungkin lupa, bahwa bahasa kamera lebih sensitive ketimbang bahasa panggung.
Ketika sebuah pementasan kehilangan daya dan warna, maka apa yang harus dimunculkan? Konsep Artistik yang dikerjakan oleh penata Artistik Roni Caronte dan Odzenk, secara domain, justru inilah kekuatan yang menutupi kelemahan para aktornya, disamping mewakili aura nafas teks drama Dario Fo, dengan tema besar naskah tersebut adalah manusia yang hidup (Julia) dengan penuh beban mental. Namun sangat disayangkan dalam pemilihan handprof, ketika adegan Perampok, pistol mainan (plastik) yang dipakai Latif Prayitna (Perampok I) dan Deni Kurniadi (Perampok II) kurang cermat, sehingga pistol-pistolan tersebut lepas (amburadul), jadi tidak utuh. Dan membuat adegan ini full improve yang semestinya tidak perlu (pada pementasan tanggal 30 januari 2008).
Multimedia yang dipercayakan kepada Yadi Mulyadi, secara visual fisik cukup berhasil, namun secara keseluruhan, saking berhasilnya visual tersebut, sehingga si apresiator lebih tertarik untuk melihat visual ketimbang dialog-dialog si tokoh utama Julia yang monoton dan kurang agresif dalam penghayatan peran. Padahal disinilah kunci kegelisahan Dario Fo berada, manakala dia menghasilkan teks drama yang berjudul An Ordinary Day.
Inilah, An Ordinary Day sebuah teks naskah karya Dario Fo yang menggiring kita pada pemaduan konsep teater modern dimana dalam pengadegannya, diperlukan kecermatan yang apik, untuk melahirkan kemasan yang tidak terjebak pada pemanggungan frame visual semata, namun logika dan ketepatan gambar dalam frame yang membingkai seorang Julia yang hidup dibawah tekanan/beban mental dikeseharian dalam lembaran hidup sehari-harinya, full iklan dan sandiwara di dalam sandiwara.
Bandung 31 Januari 2008. 22.30.02***
________________________________
(tulisan ini di muat di Majalah Gong Edisi Maret 2008)
______________________________________________
Doni Muhamad Nur, Pengamat (muda) Teater, Sutradara Teater, Sutradara Video Clip, Sinetron dan Companny Profile, Alumni STSI Bandung yang punya banyak nama pena, Rakean Wanen Ismaya. Lintang Ismaya, Naziah Zahra, Fauzan Nur Ulum, Dom Sayuri dan Mizuage Sayuri. Selain pengamat Teater, Doni pun seorang penulis, menulis Sajak, Liyrik Lagu, Cerpen, Esai, Laporan Reportase, Novel, Scenario Film dan Sinetron. Sejak tahun 1996, tulisannya tersebar di H.U. Kompas, H.U. Pikiran Rakyat, Gala Media, Majalah Sastra, Priangan, Jendela News Leter, Buletin Sastra Puitika, Daundjati. Majalah Seni Budaya dll. Sempat jadi redaktur Khusus di Majalah Seni Budaya Bandung (2002-2004) dan penulis skrip dalam beberapa garapan sinetron, video clip, company profil dan iklan di PT Mega Cinema Production M-Pro. (200-2004 & 2007).
Lebih Lanjut..

Siapa yang Harus Mengisi Ruang?

Jeblog, sebuah naskah drama yang memenangkan sayembara penulisan lakon drama basa sunda se-Jabar & Banten (Sunda Kiwari), karangan Nunu Nazaruddin Azhar (Nunaz) ini, dipentaskan oleh teater Dongkrak Tasikmalaya dari tanggal 11-18 Maret 2008. sebuah prestius yang sangat mengejutkan, manakala pementasan ini akan diapresiator oleh kurang lebih 10.000 penonton dari kalangan pelajar dan umum. Sementara tiket yang sudah terjual sekitar 9500, ungkap Edi Martoyo, selaku pimpinan produksi.
Terlepas dari itu, naskah Jeblog karya Nunaz sebenarnya adalah naskah perenungan yang bagi saya hanya enak dibaca namun sangat minim untuk dipentaskan dalam artian naskah ini benar-benar sebuah perenungan yang sangat mendalam, --artinya; jika mau mementaskan naskah ini, maka dibutuhkan aktor yang tangguh, dalam penghayatan peran. Manakala aktor harus menguasai akting realis. Terlebih pada peran Ibu, Nyi Putri Bulan, Sunyi dan Pamajikan yang harus diperankan oleh satu tokoh saja (kali ini Dongkrak menurunkan personil barunya, peran tersebut dipercyakan pada Ina Chute). Jeblog dalam tema besar yang di angkat Nunaz sebenarnya, bukan artian ke sia-siaan saja, namun lebih mengangkat bagaimana memahami ini hidup, seperti halnya dalam puisi Nunaz yang diberi judul, Aku Datang ke Banyak Peristiwa, inilah Jeblog yang sesungguhnya. Jeblog bukan hanya nihilisme semata, tapi realita bangsa ini, realita kehidupan kita dalam memahami, menghayati dan mencerna ini hidup dan kehidupan kita di ardhiNya yang fana ini.
Pada pementasan kali ini, saya sebagai penonton merasa terganjal mata dengan pertanyaan yang ada dalam benak saya, mengapa? Dalam sebuah konsep garapan (khususnya teater) apakah artistik yang menghidupkan aktor, ataukah aktor yang akan menghidupkan artistik? Teater Dongkrak kali ini, tidak menggunakan unsur dramantik yang sublim, melainkan konsep garap yang hadir adalah sebuah ke-Vandalis-an itu sendiri. Hingga ruang yang diciptakan mengalahkan gerak aktor itu sendiri. Inilah sebuah kesia-siaan, apakah sang sutradara yang membawahi pimpinan Aktor, Artistik, Lighting dan Pemusik yang digawangi Yudi Carmed, kurang memahami isi teks naskah, ataukah Yudi Carmed berusaha memberi warna baru untuk Teater Dongkrak? Terlepas dari tata ruang (Artistik) bagaimana pun itu bentuknya, di negara manapun, katakanlah seluruh dunia bersepakat bahwa peradaban tertinggi dunia itu adalah Romawi, selama saya mempelajari sejarah, antropologi, pun budaya barat, tidak pernah ada sebuah penjara yang membentangkan rantai begitu panjang dan kokoh, apa lagi rantai tersebut bersumber dari langit-langit. Dan bila dibenturkan pada realita naskah, Nunaz berbicara di Indonesia (kini), penjara mana di Indonesia yang begitu royal menghamburkan rantai? "Dari pada untuk mensubsidi rantai, lebih baik mensubsidi isi perut."
Sebuah ke-Vandalis-an yang cukup mengejutkan namun melelahkan mata untuk penonton. Tata Ruang yang sederhana, melahirkan efek kejut, sengaja diciptakan, namun ketika dibenturkan dengan aktor, sayangnya aktor sendiri tidak mengikuti ke-Vandalis-an artistik yang sudah dibangun. Jadi disini ada ketimpangan dalam megisi ruang, sehingga satu sama lain jadi tidak saling mempengaruhi. Manakala jika di benturkan dengan perttanyaan ini pun; "ketika sebuah pertunjukkan kehilangan daya dan warna, apa yang harus dimunculkan?" Di sisi lain mungkin Yudi Carmed memahami kekuatan aktor yang kurang penghayatan pada penghidupan sukma aktor, sehingga konsep artistiklah yang dimunculkan, namun sayangnya artistik jadi lebih mengkecilkan gerak ruang aktor. Dimana sebetulnya naskah Jeblog karya Nunaz ini tidak membutuhkan penyempitan ruang, sebenarnya penyempitan ruang itu ada dalam pikira-pikiran si tokoh itu sendiri, Sarkawi (Andarea Fatih), Burhan (King Lihing, dan Wit Jabo Widianto (Dalka), yang manakakala atas perbuan mereka sendiri, sebelum terkurung dalam ruangan penjara, --perbutan mereka menghasilkan nilai Jeblog, bagi kebenaran komunal. Dimana falsafah sunda berkata Walagri bibit sa ati, waluya kedal ku ucap, punahna ku laku diri dan Nunaz memahami betul falsafah tersebut dalam naskahnya itu.
Benar adanya, sebuah ruang teater yang diciptakan, menjadi ruang kreatif bagi si seniman (pekerja seni), namun ada satu hal yang harus di ingat, se absurditas apapun itu karya, se suryalis apapun itu karya, tetap pada titik awalnya, karya tersebut bertolah dari kerealisan yang ada. Meski hukum panggung tidak mengenal wadag realis murni (Benar-benar realis to). Mungkinkah karea orang sunda selalu latah dengan kirata dan tuturut munding, sehingga ketika mementaskan naskah yang berjudul Jeblog, maka hasil garapan yang diusung teater Dongkrak dalam awak garapan kali ini bernilai 3/4 nya Jeblog pula? Wallahu'alam.
Namun walau bagaimana pun, Teater Dongkrak, secara prestisius bisa mempertahankannya keutuhan usianya yang sudah 17 tahun lebih dan kali ini adalah garapan yang ke 79 kalinya. Suatu prestasi yang langka, sebuah kelompok bisa bertahan sampai 17 tahun dengan militansi dan pergeseran Re-Generasi yang dibidani Nur Ahmad Rus ini. Selamat!***
----------------------------------------------------------------------------
Tulisan ini dimuat di Koran Priangan 26 Maret 2008
--------------------------------------------------------------------------
Lebih Lanjut..

PERKEMBANGAN TEATER DI TASIKMALAYA

Pertumbuhan Teater di kota yang mendapat julukan kota Puisi (Tasikmalaya), berdasarkan riset Prof.Drs. Saini KM., memang cukup menggembirakan dengan tumbuh kembangnya ekstra kulikuler di beberapa sekolal SMP dan SMA, namun dari balik itu semua, secara karya sulit ditemui adanya pementasan, sebagaimana pertanda sebuah proses/ peristiwa teater itu terjadi dalam sebuah kelompok teater yang dibangun. Hal ini bisa dirasakan dengan minimnya pementasan karya-karya siswa binaan yang di sekolah tersebut mengadakan ekstra kulikuler teater. Tentu saja hal ini bisa tercermin dari pementasan yang digelar di G.K. Tasikmalaya, sebagai pusat pementasan. Pun pada kelompok-kelompok teater yang sudah punya nama.
Ada apa dengan teater di Tasikmalaya? Apakah ruang diskusi teater sudah tidak menarik lagi untuk diwacanakan dan diapresiasikan? Ataukah para pembimbing guru ekstra kulikulernya sendiri kurang menguasai/ keterbatasan dari bahan ajar, sehingga siswa yang dibina merasa bosan dengan materi yang diberikan? Atau hal ini pun karena keterbatasan waktu para siswa yang harus membagi waktu dengan pelajaran lain, manakala teater hanya sebagai pelahjaran ekstra saja? Ataukah pihak sekolah kurang peduli pada managemen sebuah peristiwa pementasan teater, manakala dana yang dibutuhkan cukup lumayan besar dalam sebuah garapannya? Lalu apa fungsi pengajaran sastra drama bagi siswa? Dimanakah tersimpannya dana ekstra kulikuler pendidikan? Dan mungkin juga GKT nya sendiri sudah tidak layak pakai?
Terlepas dari rentetan pertannyaan di atas, berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh penulis, tentu saja hal ini pun merupakan tanggung jawab yang tidak bisa lepas dari DIKBUD itu sendiri, mengapa? Sedang maju mundurnya regenerasi bangsa, besar kecilnya terpangku pada tangan pemerintahan yang sedang memangku jabatan. Dan tentunya, PR bagi para pekerja seni, khususnya seni teater.
Bila merujuk pada riwayat pertumbuhan teater di Tasikmalaya, yang pertama kali kemunculan Teater diawali oleh DAMAS Tasikmalaya (1965 dengan pementasannya Gending Karesmen Galunggung Ngadeg Tumenggung yang bertempat di Karangresik, yang konon katanya para sebaian pemainnya, seusai mengadakan pentas, ada yang meracun, ketika kelompok ini pulang mentas di Jakarta) dan kesininya berdirilah Teater Epos (1970-an) yang digawangi oleh Bambang Arayana yang banyak juga mementaskan naskah teater, namun Kelompok epos tidak hanya bergerak dalam seni peran saja, ada juga seni rupanya, yang terfokus pada belajar melukis. Sejarah memang bukanlah sesuatu yang penting, bagi sebagian orang, namun dibalik itu, tidak akan terjadi perubahan kalau tidak ada sejarah. Manakala hal ini memunculkan kelompok Ambang Wuruk (1989), Dongkrak (1990), Front X Teater (1999) dan lainnya.
Antara bayang-bayang sejarah dan kenyataan hari ini, mungkinkah kota Tasikmalaya sudah melupakan falsafah orang sunda? "Ngalengkah ka hareup sa jeungkal, sedengkeun ngalengkah ka tukang sa deupa" dalam artian konteks, merosotnya perkembangan seni teater di kota ini, ataukah benar adanya surutnya popularitas teater di Tasikmalaya, disebabkan oleh beberapa pertanyaan di atas?
Namun kemunduran teater ini pun diimbangi dengan bentuk jenis kesenian lain, seperti seni beluk, angklung badud yang sebagai ciri khas kesenian Tasikmalaya. Atau hal ini akan menjadi lain cerita bila di kota ini muncul Dewan Kesenian Tasikmalaya, sebagai pemerhati dan penyuplai(penyalur dana dari pemerintah) untuk tumbuh dan berkembangnya seni tradisi dan modern dalam upaya melestarikan kekayaan budaya, sebagai aset bangsa? Mungkinkah?***

Lebih Lanjut..

TEKS DRAMA SEBAGAI OPINI PUBLIK

Dalam rangka ulang tahun ke 29 Jurusan Teater, Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung, yang diselenggarakan pada tanggal 24-26 Agustus 2007 (beberapa pekan lalau), disamping pada puncak acara ditutup dengan memberikan penghargaan kepada Budayawan Prof. Drs. Jakob Sumardjo (guru besar STSI Bandung, ITB, IKJ, UNPAR dan UNPAS) dan Aktor Senior Teater yang cukup militansi, Mohammad Sanjaya, atas jasa-jasa mereka pada perkembangan dunia Teater Indonesia. dari banyaknya rentetan acara selama tiga hari tersebut, ada sudut ruang yang menarik bagi penulis, ketika bedah buku "Ekologi Sastra Lakon Indoneasia" (Kelir, 2007) karya Jakob Sumardjo yang dipandu oleh Benny Johanes (Benjon) dengan pembicara Sapardi Djoko Damono dan Afrizal Malna, pada tanggal 25 Agustus 2007 di Gedung Serbaguna STSI Bandung
Adapun isi buku yang ditulis Jakob itu, secara inti adalah pemetaan naskah drama dari mulai zaman sebelum kolonial, sampai pada zaman rezim Soeharto. "...sebuah naskah drama lahir dari pecahnya konvensi sosial di masyarakat, dimana pada akhirnya naskah terlahir menjadi milik pribadi", ungkap Afrizal "Manakala selembar daun jatuh pun yang gugur dan kita memperhatikannya, maka itu pun bisa dikatakan sebagai peristiwa teater" tandas Sapardi, "... dalam setiap episode sejarah, tradisi menulis muncul sebagai bagian langsung dari identitas kebudayaan, --termasuk menulis naskah drama. dalam tradisi klasik (barat) menulis menandai sebuah praksis kehadiran, yang utama. Para filsuf, yang memulai tradisi kondifikasi tulisan, adalah mereka yang mengabadikan berbagai bentuk pencarian prinsip-prinsip kebenaran radikal. Tulisan, sebagai sebuah cara untuk mengada, menuntut suatu penyatuan yang konsisten antara yang empiris dengan yang teoritis. Tulisan adalah fiksasi dari kehadiran itu sendiri, Aku menulis, maka aku ada," Benjon menyimpulkan., Dimana pada akhirnya, sebuah teks sastra drama terlahirkan bisa membawa kita pada suatu katarsis, tentu saja katarsis di sana dikembalikan balik pada si Apresiator, sejauhmana mereka memahami teks demi teks naskah drama tersebu. sepertihalnya perubahan, pergeseran, pergerakan politik, perkembangan budaya, revormasi dan revolusi di Dunia Barat banyak terilhami dari teks naskah drama yang dipentaskan dan diwacanakan dalam ruang publik yang cukup serius, "...namun sayang, buku-buku drama di Indonesia, sangat minim keberadaannya, beda dengan di Jepang dan Di Dunia Barat sana", Afrizal menambahkan, "Termasuk tulisan kritik Teater di massmedia, di Indonesia sangat minim, disamping kurangnya dramaturgi dan SDM-nya", papar Sapardi tak kalah ingin menambahkan.
"...jika teks drama bisa mengubah dunia dari peradaban, maka sangat disayangkan sekali, pada dekade 60-70-an, koran, majalah dan mediamassa lokal kerap memuat naskah drama, --namun pada dekade tahun 80-an sampai dengan sekarang, sangat disayangkan mediamassa di Indonesia dewasa ini, tidak menyisakan rubrik/ruang untuk Lakon Teks Drama, ada apa dengan Negeri ini?" lagi-lagi Benjon menyimpulkan dari kedua pembicara tersebut.
Secara tidak langsung, diskusi bedah buku tersebut yang berlangsung dari pukul 13.30-16.45 WIB., yang dihadiri oleh mahasiswa STSI, dosen-dosen, para budayawan, penggiat teater, sutradara, aktor, seniman dan masyarakat umum, seperti Tonny Broer (Aktor Teater Internasional), Jakob Sumardjo (Filsuf dan Budayawan), (Bambang Arayana (Penggiat Teater), Soni Farid Maulana (Penyair Internasional), Yoyo C. Durahman (Sutradara Nasional), Retno Dwi Marwati (Aktor Nasional), Herry Dim (Perupa Indonesia), Joko Kurnain, Yayat H.K dan Yadi Mulyadi (Penata Artistik Nasional), Ipit S. Dimiyati (Pengamat Jepruter Indonesia) dan lain-lain, pada sesi forum diskusi mewacanakan tentang merosotnya peradaban budaya Indonesia, disebabkan salah satunya kurang opini yang cukup serius untuk didiskusikan dalam menggiring bangsa ini, --mau dibawa kemana haluannya, maka wajar bila dunia kapitalis semakin merajai di Negeri ini.
Memang keberagaman karya sastra banyak macam ragamnya, seperti puisi, cerpen, esai, novel dan lain sebagainya. Namun Teater yang sudah dibabptis sebagai Sekolah Kehidupan, keberadaan perannya pun kurang membuming di Indonesia ini, seperti dianak tirikan, beda halnya dengan dengan bentuk/jenis kesenian lain. "...padahal sebuah proses teater terjadi, kompleks adanya, boleh dikatakan 'rakus', --artinya seluruh unsur jenis kesenian dan peradaban manusia masuk di dalamnya, dari mulai teks naskah, artistik, musik, kostum (mode), tari, multimedia, dan ligh ting hadir didalamnya" papar Sapardi, secara inti proses kerja teater pun kolektif, artinya jika disangkutkan dengan butir ke empat pada Pancasila "Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan" maka disadari tanpa tidak disadari oleh kita, proses kerja teater melatih kita untuk musyawarah dalam mencapai mufakat dibawah garis komando sang Sutradara.
Ketika masyarakat sudah terbiasa dengan opini publik dalam pembelajaran teks drama, niscaya peradaban budaya yang berkembangpun akan tersusun secara apik, tidak semerawut sepertihalnya sekarang ini, mengapa? Masyarakat digiring cerdas untuk berfikir menatap masa depan, lebih elok dari hari kemarin., dan budaya pembodohan, money politik, kesenjangan sosial dan hidup beragama bisa berdampingan secara utuh pada hakikat penciptaan kita dibumiNya ini. namun sayang media terebut tidak tersedia baik di rubrik massmedia, maupun dikampus-kampus yang memberikan pengajaran teks naskah drama, dimana sifatnya hanya mengenal saja, tidak jauh untuk diperdalam. Adapun yang memperdalam, hanyalah mereka yang masuk UKM-UKM Teater, Sanggar Teater, dan Mahasiswa Jurusan Teater, --hal ini pun sangat jauh dari harapan, hal ini pun disamping minimnya buku-buku teater di Indonesia pun pada ekstrimnya perkembangan Teater di Indonesia kurang populer. berbeda seperti di Honggaria sana; "... kemunculan Teater Boneka saja terbagi dalam tiga kelas: untuk Kanak-kanak, orang Dewasa dan Orang Tua, --manakala kemunculan Teater Boneka di Honggaria sana, khusus untuk kategori kelas kanak-kanak dan orang dewasa, --menjadi kurikulum wajib dan isi teks dramanya pun lebih cenderung pada sifat/misi pengajaran dan pembelajaran hidup, boleh dikata pada pranata sosial/memahami sosiologi. Sedangkan untuk kelas Orang Tua, bersifat hiburan yang diselipi kebijakan-kebijakan/memahami perkembangan psikologi dalam membimbing anak-anaknya ke arah masa depan, tak ubahnya misi wayang di Indonesia pada zaman Wali. Sedang di kita (Indonesia), keberadaan film boneka Si Unyil pun lenyap begitu saja..." ungkap Heriyanto (Aktor Teater Indonesia, alumni STSI Bandung), beberapa tahun silam (2001) kepada penulis, selepas kepulangannya dari Honggaria, atas beasiswa pertukaran pelajar yang didapatnya dari Peck University di kota Peck, Honggaria. ***Sunan Ambu, 26 Agustus 2007 23.45 WIB.***
________________________________________________
"Tulisan ini dimuat di Buletin Daundjati edisi September"
_________________________________________
catatan satu sisi theatre days 24-26 agustus 2007
_______________________________________

Pengamat Muda Teater, Fauzan Nur Ulum, Rakean Wanen Ismaya, Lintang Ismaya, Lastri Kinasih, Naila Zahra, Dom Syauri, adalah nama pena dari Doni Muhamad Nur, lahir di Tasikmalaya pada tanggal 01 Oktober 1979, alumni STSI Bandung. menulis sajak, cerpen, skenario, novel, esai dan artikel kebudayaan, --baginya semata-mata hanya menunggu jemputan dari-Nya atas karunia hidup yang diberikan padanya. sempat jadi redaktur khusus di majalah Sastra Swara Cangkurileung Bandung dari tahun 2002-2004. kini beliau tercatat sebagai pengamat muda teater dan penikmat mitos.
Lebih Lanjut..