Sabtu, 15 Maret 2008

TEKS DRAMA SEBAGAI OPINI PUBLIK

Dalam rangka ulang tahun ke 29 Jurusan Teater, Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung, yang diselenggarakan pada tanggal 24-26 Agustus 2007 (beberapa pekan lalau), disamping pada puncak acara ditutup dengan memberikan penghargaan kepada Budayawan Prof. Drs. Jakob Sumardjo (guru besar STSI Bandung, ITB, IKJ, UNPAR dan UNPAS) dan Aktor Senior Teater yang cukup militansi, Mohammad Sanjaya, atas jasa-jasa mereka pada perkembangan dunia Teater Indonesia. dari banyaknya rentetan acara selama tiga hari tersebut, ada sudut ruang yang menarik bagi penulis, ketika bedah buku "Ekologi Sastra Lakon Indoneasia" (Kelir, 2007) karya Jakob Sumardjo yang dipandu oleh Benny Johanes (Benjon) dengan pembicara Sapardi Djoko Damono dan Afrizal Malna, pada tanggal 25 Agustus 2007 di Gedung Serbaguna STSI Bandung
Adapun isi buku yang ditulis Jakob itu, secara inti adalah pemetaan naskah drama dari mulai zaman sebelum kolonial, sampai pada zaman rezim Soeharto. "...sebuah naskah drama lahir dari pecahnya konvensi sosial di masyarakat, dimana pada akhirnya naskah terlahir menjadi milik pribadi", ungkap Afrizal "Manakala selembar daun jatuh pun yang gugur dan kita memperhatikannya, maka itu pun bisa dikatakan sebagai peristiwa teater" tandas Sapardi, "... dalam setiap episode sejarah, tradisi menulis muncul sebagai bagian langsung dari identitas kebudayaan, --termasuk menulis naskah drama. dalam tradisi klasik (barat) menulis menandai sebuah praksis kehadiran, yang utama. Para filsuf, yang memulai tradisi kondifikasi tulisan, adalah mereka yang mengabadikan berbagai bentuk pencarian prinsip-prinsip kebenaran radikal. Tulisan, sebagai sebuah cara untuk mengada, menuntut suatu penyatuan yang konsisten antara yang empiris dengan yang teoritis. Tulisan adalah fiksasi dari kehadiran itu sendiri, Aku menulis, maka aku ada," Benjon menyimpulkan., Dimana pada akhirnya, sebuah teks sastra drama terlahirkan bisa membawa kita pada suatu katarsis, tentu saja katarsis di sana dikembalikan balik pada si Apresiator, sejauhmana mereka memahami teks demi teks naskah drama tersebu. sepertihalnya perubahan, pergeseran, pergerakan politik, perkembangan budaya, revormasi dan revolusi di Dunia Barat banyak terilhami dari teks naskah drama yang dipentaskan dan diwacanakan dalam ruang publik yang cukup serius, "...namun sayang, buku-buku drama di Indonesia, sangat minim keberadaannya, beda dengan di Jepang dan Di Dunia Barat sana", Afrizal menambahkan, "Termasuk tulisan kritik Teater di massmedia, di Indonesia sangat minim, disamping kurangnya dramaturgi dan SDM-nya", papar Sapardi tak kalah ingin menambahkan.
"...jika teks drama bisa mengubah dunia dari peradaban, maka sangat disayangkan sekali, pada dekade 60-70-an, koran, majalah dan mediamassa lokal kerap memuat naskah drama, --namun pada dekade tahun 80-an sampai dengan sekarang, sangat disayangkan mediamassa di Indonesia dewasa ini, tidak menyisakan rubrik/ruang untuk Lakon Teks Drama, ada apa dengan Negeri ini?" lagi-lagi Benjon menyimpulkan dari kedua pembicara tersebut.
Secara tidak langsung, diskusi bedah buku tersebut yang berlangsung dari pukul 13.30-16.45 WIB., yang dihadiri oleh mahasiswa STSI, dosen-dosen, para budayawan, penggiat teater, sutradara, aktor, seniman dan masyarakat umum, seperti Tonny Broer (Aktor Teater Internasional), Jakob Sumardjo (Filsuf dan Budayawan), (Bambang Arayana (Penggiat Teater), Soni Farid Maulana (Penyair Internasional), Yoyo C. Durahman (Sutradara Nasional), Retno Dwi Marwati (Aktor Nasional), Herry Dim (Perupa Indonesia), Joko Kurnain, Yayat H.K dan Yadi Mulyadi (Penata Artistik Nasional), Ipit S. Dimiyati (Pengamat Jepruter Indonesia) dan lain-lain, pada sesi forum diskusi mewacanakan tentang merosotnya peradaban budaya Indonesia, disebabkan salah satunya kurang opini yang cukup serius untuk didiskusikan dalam menggiring bangsa ini, --mau dibawa kemana haluannya, maka wajar bila dunia kapitalis semakin merajai di Negeri ini.
Memang keberagaman karya sastra banyak macam ragamnya, seperti puisi, cerpen, esai, novel dan lain sebagainya. Namun Teater yang sudah dibabptis sebagai Sekolah Kehidupan, keberadaan perannya pun kurang membuming di Indonesia ini, seperti dianak tirikan, beda halnya dengan dengan bentuk/jenis kesenian lain. "...padahal sebuah proses teater terjadi, kompleks adanya, boleh dikatakan 'rakus', --artinya seluruh unsur jenis kesenian dan peradaban manusia masuk di dalamnya, dari mulai teks naskah, artistik, musik, kostum (mode), tari, multimedia, dan ligh ting hadir didalamnya" papar Sapardi, secara inti proses kerja teater pun kolektif, artinya jika disangkutkan dengan butir ke empat pada Pancasila "Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan" maka disadari tanpa tidak disadari oleh kita, proses kerja teater melatih kita untuk musyawarah dalam mencapai mufakat dibawah garis komando sang Sutradara.
Ketika masyarakat sudah terbiasa dengan opini publik dalam pembelajaran teks drama, niscaya peradaban budaya yang berkembangpun akan tersusun secara apik, tidak semerawut sepertihalnya sekarang ini, mengapa? Masyarakat digiring cerdas untuk berfikir menatap masa depan, lebih elok dari hari kemarin., dan budaya pembodohan, money politik, kesenjangan sosial dan hidup beragama bisa berdampingan secara utuh pada hakikat penciptaan kita dibumiNya ini. namun sayang media terebut tidak tersedia baik di rubrik massmedia, maupun dikampus-kampus yang memberikan pengajaran teks naskah drama, dimana sifatnya hanya mengenal saja, tidak jauh untuk diperdalam. Adapun yang memperdalam, hanyalah mereka yang masuk UKM-UKM Teater, Sanggar Teater, dan Mahasiswa Jurusan Teater, --hal ini pun sangat jauh dari harapan, hal ini pun disamping minimnya buku-buku teater di Indonesia pun pada ekstrimnya perkembangan Teater di Indonesia kurang populer. berbeda seperti di Honggaria sana; "... kemunculan Teater Boneka saja terbagi dalam tiga kelas: untuk Kanak-kanak, orang Dewasa dan Orang Tua, --manakala kemunculan Teater Boneka di Honggaria sana, khusus untuk kategori kelas kanak-kanak dan orang dewasa, --menjadi kurikulum wajib dan isi teks dramanya pun lebih cenderung pada sifat/misi pengajaran dan pembelajaran hidup, boleh dikata pada pranata sosial/memahami sosiologi. Sedangkan untuk kelas Orang Tua, bersifat hiburan yang diselipi kebijakan-kebijakan/memahami perkembangan psikologi dalam membimbing anak-anaknya ke arah masa depan, tak ubahnya misi wayang di Indonesia pada zaman Wali. Sedang di kita (Indonesia), keberadaan film boneka Si Unyil pun lenyap begitu saja..." ungkap Heriyanto (Aktor Teater Indonesia, alumni STSI Bandung), beberapa tahun silam (2001) kepada penulis, selepas kepulangannya dari Honggaria, atas beasiswa pertukaran pelajar yang didapatnya dari Peck University di kota Peck, Honggaria. ***Sunan Ambu, 26 Agustus 2007 23.45 WIB.***
________________________________________________
"Tulisan ini dimuat di Buletin Daundjati edisi September"
_________________________________________
catatan satu sisi theatre days 24-26 agustus 2007
_______________________________________

Pengamat Muda Teater, Fauzan Nur Ulum, Rakean Wanen Ismaya, Lintang Ismaya, Lastri Kinasih, Naila Zahra, Dom Syauri, adalah nama pena dari Doni Muhamad Nur, lahir di Tasikmalaya pada tanggal 01 Oktober 1979, alumni STSI Bandung. menulis sajak, cerpen, skenario, novel, esai dan artikel kebudayaan, --baginya semata-mata hanya menunggu jemputan dari-Nya atas karunia hidup yang diberikan padanya. sempat jadi redaktur khusus di majalah Sastra Swara Cangkurileung Bandung dari tahun 2002-2004. kini beliau tercatat sebagai pengamat muda teater dan penikmat mitos.

0 komentar: