Sabtu, 15 Maret 2008

Bahasa Kamera Lebih Sensitive Ketimbang Bahasa Panggung

Sebuah pertunjukan apapun (khususnya teater) kerap memberi sebuah kabar dan katarsis, bagi si apresiatornya. An Ordinary Day sebuah teks drama karya Dario Fo (Italia) pada tanggal 30-31 Januari 2008 dipentaskan oleh kelompok Teater yang menamakan diri Behindtheactor’s dengan sutradara Asep Budiman. Di CCF the Bandoeng.
Dalam booklet pementasan, An Ordinary Day, cukup meriah oleh sambutan para kritikus sastra dan pengamat teater, seperti: Prof. Drs. Jakob Sumardjo, Benny Yohanes S.Sn. M.Hum, Wicaksono Adi dan Septiawan Santana K., secara domain, mereka memberi pengantar yang cukup menarik untuk lebih memahami/sebagai gerbang awal untuk menghayati alur isi naskah yang dibuat oleh Dario Fo. Dimana calon apresiator digiring dari berbagai arah pandangan/kacamata yang berbeda, untuk memahami isi teks drama An Ordinary Day. Hal ini tentu saja sangat langka khususnya di Indonesia, dalam sebuah pementasan teater, si calon apresiator, dengan disuguhi banyaknya kata pengantar (semacam catatan dramaturgi). Pementasan ini didukung oleh Yayasan Kelola dan Dewan Kesenian Jakarta.
Bukanlah karya pertama yang diusung oleh kelompok teater Behindtheactor’s, dengan sutradara Asep Budiman (Asbud), sebelumnya kelompok ini berhasil menghipnotis penonton dengan karyanya yang berjudul Fatum, Hellego Helero, Humanus Balonitus dan lainnnya. Jadi bukanlah factor keberuntungan, jika para pembicara di atas memberikan tulisannya untuk dimuat di booklet.
Namun pada pementasan kali ini, sangat disayangkan dengan keterjebakkan konsep visual yang diterapkan Asbud dalam konsep penyutradaraanya kali ini, mengapa demikian? Ini tercermin dari sikap penonton yang lebih asyik menyaksikan visual ketimbang aktor yang sedang beraksi di atas panggung. Hal inilah yang membuat penulis tertarik untuk mengomentari pertunjukkan ini.
Naskah yang dibuat Dario Fo, domain pada monolog/ soliloquy sang aktris dengan tokohnya Julia yang diperankan (Evi Sri Rejeki “Evi”). Disini pun Asbud rupanya kurang cermat dalam meng-kesting, mengapa yang jadi Julia bukan Dewi Hikmah Wulandari (Dewi) disini Dewi berperan sebagai Katie. Tentu saja hal ini sangat berpengaruh, ada yang dilupakan oleh Asbud, ketika Julia (Evi) bermain-main dengan Frame kamera yang dioprasikkannya sendiri, dan gambar hasil rekaman kamerannya secara langsung dimontasekannya kembali via Proyektor, untuk dikonsumsi apresiator. Inilah kekurang telitian Asbud, bahwasannya bahasa kamera tidak sama dengan bahasa panggung, dalam kamera yang paling kuat untuk ditonjolkan adalah visual mimic, bukan visual verbal (kata-kata). Evi disini kurang mengusai visual mimic, ketimbang Dewi yang cukup pas secara intonasi verbal pun secara mimic, dimana kekuatan soliloquy sepenuhnya terletak pada kekuatan actor. Ada apa dengan casting?
Dari kekurangan ini, merambat pada pengambilan gambar Asbud yang memvisualkan sebuah adegan drama situasi dalam layar tv (boleh dibilang Sinetron) yang diperankan Nendah Herawati dan Latif Prayitna, yang seolah-olah adegan tersebut murni dari sebuah acara televisi yang sedang ditonton Julia (Evi), secara pengambilan gambar, frame demi frame yang disuguhkan kurang tepat dalam komposisi pengambilan adegan, dalam artian bahasa kamera, baik secara pengambilan angle master maupun angle close-up, dan angle two shoot. Inilah kekurang telitian Asbud dalam mengambil adegan tersebut. Asbud mungkin lupa, bahwa bahasa kamera lebih sensitive ketimbang bahasa panggung.
Ketika sebuah pementasan kehilangan daya dan warna, maka apa yang harus dimunculkan? Konsep Artistik yang dikerjakan oleh penata Artistik Roni Caronte dan Odzenk, secara domain, justru inilah kekuatan yang menutupi kelemahan para aktornya, disamping mewakili aura nafas teks drama Dario Fo, dengan tema besar naskah tersebut adalah manusia yang hidup (Julia) dengan penuh beban mental. Namun sangat disayangkan dalam pemilihan handprof, ketika adegan Perampok, pistol mainan (plastik) yang dipakai Latif Prayitna (Perampok I) dan Deni Kurniadi (Perampok II) kurang cermat, sehingga pistol-pistolan tersebut lepas (amburadul), jadi tidak utuh. Dan membuat adegan ini full improve yang semestinya tidak perlu (pada pementasan tanggal 30 januari 2008).
Multimedia yang dipercayakan kepada Yadi Mulyadi, secara visual fisik cukup berhasil, namun secara keseluruhan, saking berhasilnya visual tersebut, sehingga si apresiator lebih tertarik untuk melihat visual ketimbang dialog-dialog si tokoh utama Julia yang monoton dan kurang agresif dalam penghayatan peran. Padahal disinilah kunci kegelisahan Dario Fo berada, manakala dia menghasilkan teks drama yang berjudul An Ordinary Day.
Inilah, An Ordinary Day sebuah teks naskah karya Dario Fo yang menggiring kita pada pemaduan konsep teater modern dimana dalam pengadegannya, diperlukan kecermatan yang apik, untuk melahirkan kemasan yang tidak terjebak pada pemanggungan frame visual semata, namun logika dan ketepatan gambar dalam frame yang membingkai seorang Julia yang hidup dibawah tekanan/beban mental dikeseharian dalam lembaran hidup sehari-harinya, full iklan dan sandiwara di dalam sandiwara.
Bandung 31 Januari 2008. 22.30.02***
________________________________
(tulisan ini di muat di Majalah Gong Edisi Maret 2008)
______________________________________________
Doni Muhamad Nur, Pengamat (muda) Teater, Sutradara Teater, Sutradara Video Clip, Sinetron dan Companny Profile, Alumni STSI Bandung yang punya banyak nama pena, Rakean Wanen Ismaya. Lintang Ismaya, Naziah Zahra, Fauzan Nur Ulum, Dom Sayuri dan Mizuage Sayuri. Selain pengamat Teater, Doni pun seorang penulis, menulis Sajak, Liyrik Lagu, Cerpen, Esai, Laporan Reportase, Novel, Scenario Film dan Sinetron. Sejak tahun 1996, tulisannya tersebar di H.U. Kompas, H.U. Pikiran Rakyat, Gala Media, Majalah Sastra, Priangan, Jendela News Leter, Buletin Sastra Puitika, Daundjati. Majalah Seni Budaya dll. Sempat jadi redaktur Khusus di Majalah Seni Budaya Bandung (2002-2004) dan penulis skrip dalam beberapa garapan sinetron, video clip, company profil dan iklan di PT Mega Cinema Production M-Pro. (200-2004 & 2007).

0 komentar: