Sabtu, 29 Maret 2008

Roti Bakar

Tak terduga sebelumnya, temanku yang aku suka padanya. yang manakala dia juga marah padaku. Mengunjungiku di pagi hari sekira jam 9 tepat dia satroni aku di kota kembaraku. sesuai dengan SMS nya padaku. Dia datang tepat waktu dari kota kehidupan di masa kecilnya. Pas aku bangun tidur, hendak ke air, mandi niatku. Eh... dia udah datang. Malu aku dibuatnya. Mana aroma nafas dari mulutku bangun tidur belum terbebaskan dari kumur-kumur dan gosok gigi he...3x
Singkat cerita kami ngobrol di sebuah taman yang rindang mayung pohonnya. Pagi yang cerah se cerah wajahnya jika aku pandangi dia. semula kedatangan dia aku memang enggak nyangka banget. so dia super sibuk dan lagi marah besar padaku. Tapi Lain Ilalang Lain Belalang Alias bin Lain Waktu Lain Perkara. Memang dia sudah lama sekali tinggalkanku dan mungkin dia sudah lupa padaku. aku hanya tahu dari blog-blognya. tentang kabar dia sekarang-sekarang ini. aku hanya bisa membacanya tak bisa mengomentarinya. So dia marah banget padaku. Gara-gara photonya aku aplod secara diam-diam dan aku kirimi Puisi-puisi pendek via SMS pake no hp lain. Akhirnya dia tahu bahasaku. Dari sanalah kemarahannya memuncak padaku.

by the way atas asal-usul aku renggang padanya. sebenarnya aku sudah menaruh hati lama padanya. Sejak dia nasihati aku tentang broken hart. Bahkan jauh sebelum itu, ketika aku sutradarai dia di atas panggung teater. Tapi aku tak bisa berbuat apa-apa so dia udah punya gandengan bin gebetan yang keren. Akhirnya aku jatuh cinta pada teman se-kampusnya. Nah itulah yang ketika aku broken hart oleh teman sekampusnya dia datang nasihati aku sampai aku berpikir 180 derajat untuk kembali ke jalan hidupku yang dulu yang suka dengan dunia freelance.

Aku kembali menulis karya-karyaku. aku kembali pada dunia broadcash ku. ketika dia datang pun aku sedang memegang kamera untuk acara yang spektakuler. Diahdiri Gubernur Jabar. Aku salah satu tim peliputnya. Dan dia datang sambil memberi nasihat pada mataku yang sepi.

Itulah selintas pintas aku disadarkan dia.

Ok, kita kembali ke paragraph pertama. Dia datang dan curhat padaku. dia yang semua orang tahu kerap memberi penyemangat ke orang lain. Dia datang dengan segudang masalah. aku heran bin kaget dibuatnya. Enggak salah nich? Pikirku di hati. Dia yang kerap mencuri pandangan kaum adam bila sedang berkumpul. Pagi itu dia kelihatan murung. Sedikit kurus, namun aura kecantikan yang dipancarkan dari raut mukanya tetap saja terlihat dengan sempurna. Seperti biasa bila dia datang aku yang curhat. Pun ketika itu dia hendak curhat, eh aku yang blokir jalan dia untuk curhat. Aku yang bom bardir pikiran-pikirannya dengan pikiranku. aneh memang kenapa ya? Mungkin aku termasuk type orang jahat kalie? apa dikata nasi sudah menjadi bubur heueuh? Kudu dikumahakeun deui atuh? Itu juga pas aku nyadar ketika dia sudah ga ada dihadappanku.

Aku sadar kekeliruanku padanya tapi tiap kali dia datang dan sudah kebiasaanku sejak lama tiap aku curhat aku selalu dan kerap curhat padanya. Ya padanya. Dan dia sendiri tahu. Mungkin juga tidak tahu, tapi berdasarkan catatan otakku aku hanya curhat pribadiku padanya saja. Itulah kenapa aku memborbardir pikiran dia. Manakala dia sebelumnya mau membombardir pikiranku. Jahat aku heueuh? tapi itulah fakta. Aku kerap tenang bila sudah curhat padanya. Mungkinkah karena sifat dia yang sedikit egois namun menyimpan bakat ke ibuankah yang membuatku tenang? Entahlah. Atau Sang Waktu-lah yang sudah mengatur begitu jalan kehidupanku. Kali tiap aku punya masalah curhatku yang pertama kerap pada dia. Aneh memang. Goib. Mistik. Ajaib. Ada rasa keki memang aku lihat dia ketika aku yang jadi curhat. Itu terbukti ketika dia langsung mengeluarkan 2 tangkup Roti Bakar yang dibawanya ketika aku terus nyroscos bicara. Aku paham mungkin niat dia untuk menghentikanku biacara. Tapi aku terus saja bicara. Sambil melahap habis 2 tangkup Roti Bakar yang dibawanya itu. Tanpa aku sisakan sedikit pun untuknya. Jahat aku heueuh?

tapi itu fakta. Dan sekali lagi fakta.

Pagi itu dia cerita tentang hidup dan kehidupannya. Aku ingin nyatakan sesuatau yang terpendam selama ini padanya. Namun nyaliku kecil, bukan disebabkan canggung atau perbedaan prinsip hidup. Dan memang prinsip tiap orang pasti beda. Hanya misi dan misilah yang bisa sama?

Ada sisi dan faktor lain ketika aku takut utarakan perasaan dari hati yang paling dalam, diantaranya mungkin trauma yang manakala calon mertuaku dulu pernah tanya tentang dunia kerja tetapku. Aku yang suka hidup freelance. Jadi so aku ga berani kalau keluarga dia punya prinsip hidup dengan keluarga temannya dia yang udah bikinku cukup lumayan luka. Nanya tentang kerja tetapku.

Mungkinkah setelah aku bisa hidup dengan dunia tetapku, aku bisa nyatakan perasaan terdalamku padanya? Bukankah cinta tidak meminta yang lebih dari apa yang kita miliki? H...3x narsis aku heueuh? Jujur aku ingin kali nyatain perasanku padanya tapi ga bisa. Aku ingin dia menjadi sesuatu yang halal bagiku. O, Wahai Sang Waktu, ... Apakah aku terlalu berlebihan memimpikan semua ini? Aneh. Ajaib. Mistik. Bangun tidur aku ingat dia. Mimpi-in dia pun pernah. Apakah yang harus aku lakukan sekarang? Saat ini aku hanya bisa pasrah pada Sang Waktu yang biasa memainkan irama dan alur kehidupanku. Dia sutradara dan Pemain yang handal untuk semua makhluk ciptaanNya. Tapi ketika dibenturkan dengan Dzikir. Fikir dan Ihtiar, aku mentok lagi! Uh... berat ya hidup ini? Hanya ada jawaban klasik yang bikin aku tenang, namun kadang kerap mangkel di hati, -- bila jodoh takan ke mana. he...3x keki memang!***

Lebih Lanjut..

Sabtu, 15 Maret 2008

Bahasa Kamera Lebih Sensitive Ketimbang Bahasa Panggung

Sebuah pertunjukan apapun (khususnya teater) kerap memberi sebuah kabar dan katarsis, bagi si apresiatornya. An Ordinary Day sebuah teks drama karya Dario Fo (Italia) pada tanggal 30-31 Januari 2008 dipentaskan oleh kelompok Teater yang menamakan diri Behindtheactor’s dengan sutradara Asep Budiman. Di CCF the Bandoeng.
Dalam booklet pementasan, An Ordinary Day, cukup meriah oleh sambutan para kritikus sastra dan pengamat teater, seperti: Prof. Drs. Jakob Sumardjo, Benny Yohanes S.Sn. M.Hum, Wicaksono Adi dan Septiawan Santana K., secara domain, mereka memberi pengantar yang cukup menarik untuk lebih memahami/sebagai gerbang awal untuk menghayati alur isi naskah yang dibuat oleh Dario Fo. Dimana calon apresiator digiring dari berbagai arah pandangan/kacamata yang berbeda, untuk memahami isi teks drama An Ordinary Day. Hal ini tentu saja sangat langka khususnya di Indonesia, dalam sebuah pementasan teater, si calon apresiator, dengan disuguhi banyaknya kata pengantar (semacam catatan dramaturgi). Pementasan ini didukung oleh Yayasan Kelola dan Dewan Kesenian Jakarta.
Bukanlah karya pertama yang diusung oleh kelompok teater Behindtheactor’s, dengan sutradara Asep Budiman (Asbud), sebelumnya kelompok ini berhasil menghipnotis penonton dengan karyanya yang berjudul Fatum, Hellego Helero, Humanus Balonitus dan lainnnya. Jadi bukanlah factor keberuntungan, jika para pembicara di atas memberikan tulisannya untuk dimuat di booklet.
Namun pada pementasan kali ini, sangat disayangkan dengan keterjebakkan konsep visual yang diterapkan Asbud dalam konsep penyutradaraanya kali ini, mengapa demikian? Ini tercermin dari sikap penonton yang lebih asyik menyaksikan visual ketimbang aktor yang sedang beraksi di atas panggung. Hal inilah yang membuat penulis tertarik untuk mengomentari pertunjukkan ini.
Naskah yang dibuat Dario Fo, domain pada monolog/ soliloquy sang aktris dengan tokohnya Julia yang diperankan (Evi Sri Rejeki “Evi”). Disini pun Asbud rupanya kurang cermat dalam meng-kesting, mengapa yang jadi Julia bukan Dewi Hikmah Wulandari (Dewi) disini Dewi berperan sebagai Katie. Tentu saja hal ini sangat berpengaruh, ada yang dilupakan oleh Asbud, ketika Julia (Evi) bermain-main dengan Frame kamera yang dioprasikkannya sendiri, dan gambar hasil rekaman kamerannya secara langsung dimontasekannya kembali via Proyektor, untuk dikonsumsi apresiator. Inilah kekurang telitian Asbud, bahwasannya bahasa kamera tidak sama dengan bahasa panggung, dalam kamera yang paling kuat untuk ditonjolkan adalah visual mimic, bukan visual verbal (kata-kata). Evi disini kurang mengusai visual mimic, ketimbang Dewi yang cukup pas secara intonasi verbal pun secara mimic, dimana kekuatan soliloquy sepenuhnya terletak pada kekuatan actor. Ada apa dengan casting?
Dari kekurangan ini, merambat pada pengambilan gambar Asbud yang memvisualkan sebuah adegan drama situasi dalam layar tv (boleh dibilang Sinetron) yang diperankan Nendah Herawati dan Latif Prayitna, yang seolah-olah adegan tersebut murni dari sebuah acara televisi yang sedang ditonton Julia (Evi), secara pengambilan gambar, frame demi frame yang disuguhkan kurang tepat dalam komposisi pengambilan adegan, dalam artian bahasa kamera, baik secara pengambilan angle master maupun angle close-up, dan angle two shoot. Inilah kekurang telitian Asbud dalam mengambil adegan tersebut. Asbud mungkin lupa, bahwa bahasa kamera lebih sensitive ketimbang bahasa panggung.
Ketika sebuah pementasan kehilangan daya dan warna, maka apa yang harus dimunculkan? Konsep Artistik yang dikerjakan oleh penata Artistik Roni Caronte dan Odzenk, secara domain, justru inilah kekuatan yang menutupi kelemahan para aktornya, disamping mewakili aura nafas teks drama Dario Fo, dengan tema besar naskah tersebut adalah manusia yang hidup (Julia) dengan penuh beban mental. Namun sangat disayangkan dalam pemilihan handprof, ketika adegan Perampok, pistol mainan (plastik) yang dipakai Latif Prayitna (Perampok I) dan Deni Kurniadi (Perampok II) kurang cermat, sehingga pistol-pistolan tersebut lepas (amburadul), jadi tidak utuh. Dan membuat adegan ini full improve yang semestinya tidak perlu (pada pementasan tanggal 30 januari 2008).
Multimedia yang dipercayakan kepada Yadi Mulyadi, secara visual fisik cukup berhasil, namun secara keseluruhan, saking berhasilnya visual tersebut, sehingga si apresiator lebih tertarik untuk melihat visual ketimbang dialog-dialog si tokoh utama Julia yang monoton dan kurang agresif dalam penghayatan peran. Padahal disinilah kunci kegelisahan Dario Fo berada, manakala dia menghasilkan teks drama yang berjudul An Ordinary Day.
Inilah, An Ordinary Day sebuah teks naskah karya Dario Fo yang menggiring kita pada pemaduan konsep teater modern dimana dalam pengadegannya, diperlukan kecermatan yang apik, untuk melahirkan kemasan yang tidak terjebak pada pemanggungan frame visual semata, namun logika dan ketepatan gambar dalam frame yang membingkai seorang Julia yang hidup dibawah tekanan/beban mental dikeseharian dalam lembaran hidup sehari-harinya, full iklan dan sandiwara di dalam sandiwara.
Bandung 31 Januari 2008. 22.30.02***
________________________________
(tulisan ini di muat di Majalah Gong Edisi Maret 2008)
______________________________________________
Doni Muhamad Nur, Pengamat (muda) Teater, Sutradara Teater, Sutradara Video Clip, Sinetron dan Companny Profile, Alumni STSI Bandung yang punya banyak nama pena, Rakean Wanen Ismaya. Lintang Ismaya, Naziah Zahra, Fauzan Nur Ulum, Dom Sayuri dan Mizuage Sayuri. Selain pengamat Teater, Doni pun seorang penulis, menulis Sajak, Liyrik Lagu, Cerpen, Esai, Laporan Reportase, Novel, Scenario Film dan Sinetron. Sejak tahun 1996, tulisannya tersebar di H.U. Kompas, H.U. Pikiran Rakyat, Gala Media, Majalah Sastra, Priangan, Jendela News Leter, Buletin Sastra Puitika, Daundjati. Majalah Seni Budaya dll. Sempat jadi redaktur Khusus di Majalah Seni Budaya Bandung (2002-2004) dan penulis skrip dalam beberapa garapan sinetron, video clip, company profil dan iklan di PT Mega Cinema Production M-Pro. (200-2004 & 2007).
Lebih Lanjut..

Siapa yang Harus Mengisi Ruang?

Jeblog, sebuah naskah drama yang memenangkan sayembara penulisan lakon drama basa sunda se-Jabar & Banten (Sunda Kiwari), karangan Nunu Nazaruddin Azhar (Nunaz) ini, dipentaskan oleh teater Dongkrak Tasikmalaya dari tanggal 11-18 Maret 2008. sebuah prestius yang sangat mengejutkan, manakala pementasan ini akan diapresiator oleh kurang lebih 10.000 penonton dari kalangan pelajar dan umum. Sementara tiket yang sudah terjual sekitar 9500, ungkap Edi Martoyo, selaku pimpinan produksi.
Terlepas dari itu, naskah Jeblog karya Nunaz sebenarnya adalah naskah perenungan yang bagi saya hanya enak dibaca namun sangat minim untuk dipentaskan dalam artian naskah ini benar-benar sebuah perenungan yang sangat mendalam, --artinya; jika mau mementaskan naskah ini, maka dibutuhkan aktor yang tangguh, dalam penghayatan peran. Manakala aktor harus menguasai akting realis. Terlebih pada peran Ibu, Nyi Putri Bulan, Sunyi dan Pamajikan yang harus diperankan oleh satu tokoh saja (kali ini Dongkrak menurunkan personil barunya, peran tersebut dipercyakan pada Ina Chute). Jeblog dalam tema besar yang di angkat Nunaz sebenarnya, bukan artian ke sia-siaan saja, namun lebih mengangkat bagaimana memahami ini hidup, seperti halnya dalam puisi Nunaz yang diberi judul, Aku Datang ke Banyak Peristiwa, inilah Jeblog yang sesungguhnya. Jeblog bukan hanya nihilisme semata, tapi realita bangsa ini, realita kehidupan kita dalam memahami, menghayati dan mencerna ini hidup dan kehidupan kita di ardhiNya yang fana ini.
Pada pementasan kali ini, saya sebagai penonton merasa terganjal mata dengan pertanyaan yang ada dalam benak saya, mengapa? Dalam sebuah konsep garapan (khususnya teater) apakah artistik yang menghidupkan aktor, ataukah aktor yang akan menghidupkan artistik? Teater Dongkrak kali ini, tidak menggunakan unsur dramantik yang sublim, melainkan konsep garap yang hadir adalah sebuah ke-Vandalis-an itu sendiri. Hingga ruang yang diciptakan mengalahkan gerak aktor itu sendiri. Inilah sebuah kesia-siaan, apakah sang sutradara yang membawahi pimpinan Aktor, Artistik, Lighting dan Pemusik yang digawangi Yudi Carmed, kurang memahami isi teks naskah, ataukah Yudi Carmed berusaha memberi warna baru untuk Teater Dongkrak? Terlepas dari tata ruang (Artistik) bagaimana pun itu bentuknya, di negara manapun, katakanlah seluruh dunia bersepakat bahwa peradaban tertinggi dunia itu adalah Romawi, selama saya mempelajari sejarah, antropologi, pun budaya barat, tidak pernah ada sebuah penjara yang membentangkan rantai begitu panjang dan kokoh, apa lagi rantai tersebut bersumber dari langit-langit. Dan bila dibenturkan pada realita naskah, Nunaz berbicara di Indonesia (kini), penjara mana di Indonesia yang begitu royal menghamburkan rantai? "Dari pada untuk mensubsidi rantai, lebih baik mensubsidi isi perut."
Sebuah ke-Vandalis-an yang cukup mengejutkan namun melelahkan mata untuk penonton. Tata Ruang yang sederhana, melahirkan efek kejut, sengaja diciptakan, namun ketika dibenturkan dengan aktor, sayangnya aktor sendiri tidak mengikuti ke-Vandalis-an artistik yang sudah dibangun. Jadi disini ada ketimpangan dalam megisi ruang, sehingga satu sama lain jadi tidak saling mempengaruhi. Manakala jika di benturkan dengan perttanyaan ini pun; "ketika sebuah pertunjukkan kehilangan daya dan warna, apa yang harus dimunculkan?" Di sisi lain mungkin Yudi Carmed memahami kekuatan aktor yang kurang penghayatan pada penghidupan sukma aktor, sehingga konsep artistiklah yang dimunculkan, namun sayangnya artistik jadi lebih mengkecilkan gerak ruang aktor. Dimana sebetulnya naskah Jeblog karya Nunaz ini tidak membutuhkan penyempitan ruang, sebenarnya penyempitan ruang itu ada dalam pikira-pikiran si tokoh itu sendiri, Sarkawi (Andarea Fatih), Burhan (King Lihing, dan Wit Jabo Widianto (Dalka), yang manakakala atas perbuan mereka sendiri, sebelum terkurung dalam ruangan penjara, --perbutan mereka menghasilkan nilai Jeblog, bagi kebenaran komunal. Dimana falsafah sunda berkata Walagri bibit sa ati, waluya kedal ku ucap, punahna ku laku diri dan Nunaz memahami betul falsafah tersebut dalam naskahnya itu.
Benar adanya, sebuah ruang teater yang diciptakan, menjadi ruang kreatif bagi si seniman (pekerja seni), namun ada satu hal yang harus di ingat, se absurditas apapun itu karya, se suryalis apapun itu karya, tetap pada titik awalnya, karya tersebut bertolah dari kerealisan yang ada. Meski hukum panggung tidak mengenal wadag realis murni (Benar-benar realis to). Mungkinkah karea orang sunda selalu latah dengan kirata dan tuturut munding, sehingga ketika mementaskan naskah yang berjudul Jeblog, maka hasil garapan yang diusung teater Dongkrak dalam awak garapan kali ini bernilai 3/4 nya Jeblog pula? Wallahu'alam.
Namun walau bagaimana pun, Teater Dongkrak, secara prestisius bisa mempertahankannya keutuhan usianya yang sudah 17 tahun lebih dan kali ini adalah garapan yang ke 79 kalinya. Suatu prestasi yang langka, sebuah kelompok bisa bertahan sampai 17 tahun dengan militansi dan pergeseran Re-Generasi yang dibidani Nur Ahmad Rus ini. Selamat!***
----------------------------------------------------------------------------
Tulisan ini dimuat di Koran Priangan 26 Maret 2008
--------------------------------------------------------------------------
Lebih Lanjut..

PERKEMBANGAN TEATER DI TASIKMALAYA

Pertumbuhan Teater di kota yang mendapat julukan kota Puisi (Tasikmalaya), berdasarkan riset Prof.Drs. Saini KM., memang cukup menggembirakan dengan tumbuh kembangnya ekstra kulikuler di beberapa sekolal SMP dan SMA, namun dari balik itu semua, secara karya sulit ditemui adanya pementasan, sebagaimana pertanda sebuah proses/ peristiwa teater itu terjadi dalam sebuah kelompok teater yang dibangun. Hal ini bisa dirasakan dengan minimnya pementasan karya-karya siswa binaan yang di sekolah tersebut mengadakan ekstra kulikuler teater. Tentu saja hal ini bisa tercermin dari pementasan yang digelar di G.K. Tasikmalaya, sebagai pusat pementasan. Pun pada kelompok-kelompok teater yang sudah punya nama.
Ada apa dengan teater di Tasikmalaya? Apakah ruang diskusi teater sudah tidak menarik lagi untuk diwacanakan dan diapresiasikan? Ataukah para pembimbing guru ekstra kulikulernya sendiri kurang menguasai/ keterbatasan dari bahan ajar, sehingga siswa yang dibina merasa bosan dengan materi yang diberikan? Atau hal ini pun karena keterbatasan waktu para siswa yang harus membagi waktu dengan pelajaran lain, manakala teater hanya sebagai pelahjaran ekstra saja? Ataukah pihak sekolah kurang peduli pada managemen sebuah peristiwa pementasan teater, manakala dana yang dibutuhkan cukup lumayan besar dalam sebuah garapannya? Lalu apa fungsi pengajaran sastra drama bagi siswa? Dimanakah tersimpannya dana ekstra kulikuler pendidikan? Dan mungkin juga GKT nya sendiri sudah tidak layak pakai?
Terlepas dari rentetan pertannyaan di atas, berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh penulis, tentu saja hal ini pun merupakan tanggung jawab yang tidak bisa lepas dari DIKBUD itu sendiri, mengapa? Sedang maju mundurnya regenerasi bangsa, besar kecilnya terpangku pada tangan pemerintahan yang sedang memangku jabatan. Dan tentunya, PR bagi para pekerja seni, khususnya seni teater.
Bila merujuk pada riwayat pertumbuhan teater di Tasikmalaya, yang pertama kali kemunculan Teater diawali oleh DAMAS Tasikmalaya (1965 dengan pementasannya Gending Karesmen Galunggung Ngadeg Tumenggung yang bertempat di Karangresik, yang konon katanya para sebaian pemainnya, seusai mengadakan pentas, ada yang meracun, ketika kelompok ini pulang mentas di Jakarta) dan kesininya berdirilah Teater Epos (1970-an) yang digawangi oleh Bambang Arayana yang banyak juga mementaskan naskah teater, namun Kelompok epos tidak hanya bergerak dalam seni peran saja, ada juga seni rupanya, yang terfokus pada belajar melukis. Sejarah memang bukanlah sesuatu yang penting, bagi sebagian orang, namun dibalik itu, tidak akan terjadi perubahan kalau tidak ada sejarah. Manakala hal ini memunculkan kelompok Ambang Wuruk (1989), Dongkrak (1990), Front X Teater (1999) dan lainnya.
Antara bayang-bayang sejarah dan kenyataan hari ini, mungkinkah kota Tasikmalaya sudah melupakan falsafah orang sunda? "Ngalengkah ka hareup sa jeungkal, sedengkeun ngalengkah ka tukang sa deupa" dalam artian konteks, merosotnya perkembangan seni teater di kota ini, ataukah benar adanya surutnya popularitas teater di Tasikmalaya, disebabkan oleh beberapa pertanyaan di atas?
Namun kemunduran teater ini pun diimbangi dengan bentuk jenis kesenian lain, seperti seni beluk, angklung badud yang sebagai ciri khas kesenian Tasikmalaya. Atau hal ini akan menjadi lain cerita bila di kota ini muncul Dewan Kesenian Tasikmalaya, sebagai pemerhati dan penyuplai(penyalur dana dari pemerintah) untuk tumbuh dan berkembangnya seni tradisi dan modern dalam upaya melestarikan kekayaan budaya, sebagai aset bangsa? Mungkinkah?***

Lebih Lanjut..

TEKS DRAMA SEBAGAI OPINI PUBLIK

Dalam rangka ulang tahun ke 29 Jurusan Teater, Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung, yang diselenggarakan pada tanggal 24-26 Agustus 2007 (beberapa pekan lalau), disamping pada puncak acara ditutup dengan memberikan penghargaan kepada Budayawan Prof. Drs. Jakob Sumardjo (guru besar STSI Bandung, ITB, IKJ, UNPAR dan UNPAS) dan Aktor Senior Teater yang cukup militansi, Mohammad Sanjaya, atas jasa-jasa mereka pada perkembangan dunia Teater Indonesia. dari banyaknya rentetan acara selama tiga hari tersebut, ada sudut ruang yang menarik bagi penulis, ketika bedah buku "Ekologi Sastra Lakon Indoneasia" (Kelir, 2007) karya Jakob Sumardjo yang dipandu oleh Benny Johanes (Benjon) dengan pembicara Sapardi Djoko Damono dan Afrizal Malna, pada tanggal 25 Agustus 2007 di Gedung Serbaguna STSI Bandung
Adapun isi buku yang ditulis Jakob itu, secara inti adalah pemetaan naskah drama dari mulai zaman sebelum kolonial, sampai pada zaman rezim Soeharto. "...sebuah naskah drama lahir dari pecahnya konvensi sosial di masyarakat, dimana pada akhirnya naskah terlahir menjadi milik pribadi", ungkap Afrizal "Manakala selembar daun jatuh pun yang gugur dan kita memperhatikannya, maka itu pun bisa dikatakan sebagai peristiwa teater" tandas Sapardi, "... dalam setiap episode sejarah, tradisi menulis muncul sebagai bagian langsung dari identitas kebudayaan, --termasuk menulis naskah drama. dalam tradisi klasik (barat) menulis menandai sebuah praksis kehadiran, yang utama. Para filsuf, yang memulai tradisi kondifikasi tulisan, adalah mereka yang mengabadikan berbagai bentuk pencarian prinsip-prinsip kebenaran radikal. Tulisan, sebagai sebuah cara untuk mengada, menuntut suatu penyatuan yang konsisten antara yang empiris dengan yang teoritis. Tulisan adalah fiksasi dari kehadiran itu sendiri, Aku menulis, maka aku ada," Benjon menyimpulkan., Dimana pada akhirnya, sebuah teks sastra drama terlahirkan bisa membawa kita pada suatu katarsis, tentu saja katarsis di sana dikembalikan balik pada si Apresiator, sejauhmana mereka memahami teks demi teks naskah drama tersebu. sepertihalnya perubahan, pergeseran, pergerakan politik, perkembangan budaya, revormasi dan revolusi di Dunia Barat banyak terilhami dari teks naskah drama yang dipentaskan dan diwacanakan dalam ruang publik yang cukup serius, "...namun sayang, buku-buku drama di Indonesia, sangat minim keberadaannya, beda dengan di Jepang dan Di Dunia Barat sana", Afrizal menambahkan, "Termasuk tulisan kritik Teater di massmedia, di Indonesia sangat minim, disamping kurangnya dramaturgi dan SDM-nya", papar Sapardi tak kalah ingin menambahkan.
"...jika teks drama bisa mengubah dunia dari peradaban, maka sangat disayangkan sekali, pada dekade 60-70-an, koran, majalah dan mediamassa lokal kerap memuat naskah drama, --namun pada dekade tahun 80-an sampai dengan sekarang, sangat disayangkan mediamassa di Indonesia dewasa ini, tidak menyisakan rubrik/ruang untuk Lakon Teks Drama, ada apa dengan Negeri ini?" lagi-lagi Benjon menyimpulkan dari kedua pembicara tersebut.
Secara tidak langsung, diskusi bedah buku tersebut yang berlangsung dari pukul 13.30-16.45 WIB., yang dihadiri oleh mahasiswa STSI, dosen-dosen, para budayawan, penggiat teater, sutradara, aktor, seniman dan masyarakat umum, seperti Tonny Broer (Aktor Teater Internasional), Jakob Sumardjo (Filsuf dan Budayawan), (Bambang Arayana (Penggiat Teater), Soni Farid Maulana (Penyair Internasional), Yoyo C. Durahman (Sutradara Nasional), Retno Dwi Marwati (Aktor Nasional), Herry Dim (Perupa Indonesia), Joko Kurnain, Yayat H.K dan Yadi Mulyadi (Penata Artistik Nasional), Ipit S. Dimiyati (Pengamat Jepruter Indonesia) dan lain-lain, pada sesi forum diskusi mewacanakan tentang merosotnya peradaban budaya Indonesia, disebabkan salah satunya kurang opini yang cukup serius untuk didiskusikan dalam menggiring bangsa ini, --mau dibawa kemana haluannya, maka wajar bila dunia kapitalis semakin merajai di Negeri ini.
Memang keberagaman karya sastra banyak macam ragamnya, seperti puisi, cerpen, esai, novel dan lain sebagainya. Namun Teater yang sudah dibabptis sebagai Sekolah Kehidupan, keberadaan perannya pun kurang membuming di Indonesia ini, seperti dianak tirikan, beda halnya dengan dengan bentuk/jenis kesenian lain. "...padahal sebuah proses teater terjadi, kompleks adanya, boleh dikatakan 'rakus', --artinya seluruh unsur jenis kesenian dan peradaban manusia masuk di dalamnya, dari mulai teks naskah, artistik, musik, kostum (mode), tari, multimedia, dan ligh ting hadir didalamnya" papar Sapardi, secara inti proses kerja teater pun kolektif, artinya jika disangkutkan dengan butir ke empat pada Pancasila "Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan" maka disadari tanpa tidak disadari oleh kita, proses kerja teater melatih kita untuk musyawarah dalam mencapai mufakat dibawah garis komando sang Sutradara.
Ketika masyarakat sudah terbiasa dengan opini publik dalam pembelajaran teks drama, niscaya peradaban budaya yang berkembangpun akan tersusun secara apik, tidak semerawut sepertihalnya sekarang ini, mengapa? Masyarakat digiring cerdas untuk berfikir menatap masa depan, lebih elok dari hari kemarin., dan budaya pembodohan, money politik, kesenjangan sosial dan hidup beragama bisa berdampingan secara utuh pada hakikat penciptaan kita dibumiNya ini. namun sayang media terebut tidak tersedia baik di rubrik massmedia, maupun dikampus-kampus yang memberikan pengajaran teks naskah drama, dimana sifatnya hanya mengenal saja, tidak jauh untuk diperdalam. Adapun yang memperdalam, hanyalah mereka yang masuk UKM-UKM Teater, Sanggar Teater, dan Mahasiswa Jurusan Teater, --hal ini pun sangat jauh dari harapan, hal ini pun disamping minimnya buku-buku teater di Indonesia pun pada ekstrimnya perkembangan Teater di Indonesia kurang populer. berbeda seperti di Honggaria sana; "... kemunculan Teater Boneka saja terbagi dalam tiga kelas: untuk Kanak-kanak, orang Dewasa dan Orang Tua, --manakala kemunculan Teater Boneka di Honggaria sana, khusus untuk kategori kelas kanak-kanak dan orang dewasa, --menjadi kurikulum wajib dan isi teks dramanya pun lebih cenderung pada sifat/misi pengajaran dan pembelajaran hidup, boleh dikata pada pranata sosial/memahami sosiologi. Sedangkan untuk kelas Orang Tua, bersifat hiburan yang diselipi kebijakan-kebijakan/memahami perkembangan psikologi dalam membimbing anak-anaknya ke arah masa depan, tak ubahnya misi wayang di Indonesia pada zaman Wali. Sedang di kita (Indonesia), keberadaan film boneka Si Unyil pun lenyap begitu saja..." ungkap Heriyanto (Aktor Teater Indonesia, alumni STSI Bandung), beberapa tahun silam (2001) kepada penulis, selepas kepulangannya dari Honggaria, atas beasiswa pertukaran pelajar yang didapatnya dari Peck University di kota Peck, Honggaria. ***Sunan Ambu, 26 Agustus 2007 23.45 WIB.***
________________________________________________
"Tulisan ini dimuat di Buletin Daundjati edisi September"
_________________________________________
catatan satu sisi theatre days 24-26 agustus 2007
_______________________________________

Pengamat Muda Teater, Fauzan Nur Ulum, Rakean Wanen Ismaya, Lintang Ismaya, Lastri Kinasih, Naila Zahra, Dom Syauri, adalah nama pena dari Doni Muhamad Nur, lahir di Tasikmalaya pada tanggal 01 Oktober 1979, alumni STSI Bandung. menulis sajak, cerpen, skenario, novel, esai dan artikel kebudayaan, --baginya semata-mata hanya menunggu jemputan dari-Nya atas karunia hidup yang diberikan padanya. sempat jadi redaktur khusus di majalah Sastra Swara Cangkurileung Bandung dari tahun 2002-2004. kini beliau tercatat sebagai pengamat muda teater dan penikmat mitos.
Lebih Lanjut..

Minggu, 09 Maret 2008

Purwaning Dumadi

"Kawih uing lain kawih sia, jig nyingkah ulah ngagunasika kaula" Kitu ceuk gorowokna sora nu gelo di parapatan Buahbatu teh, bari tuluy noyod, muru ka jalan Keliningan, --manehna mamawa iteuk, tina haur hideung, panjangna kira-kira sadepa.
Sakedapan hayang seuri memang, ngadenge eta omongan, tapi mun dilenyepan mah, bener tah eta omongan teh? Kapanan hirup di zaman ayeunamah full ku hak azasi manusa, nu antukna jadi salah kaprah ngahartikeun hak azasi teh, kawas eusi SMS ti si John, sobat uing, basa uing nanyakeun kaayaan si mang Aji via SMS, kieu apanan walona si John ka uing teh: "Mang Aji mah, nuju kakalayangan ka langit ping pitu jeung mang Ayie, jiganamah pangaosan rock'n roll, nu sakumaha biasa nepi nonggeng, mencos ka langit, --apanan 4x malam minggu dihijikeun,"
"Pangaosan rock'n roll?" ceuk uing na hate. Beu, beuki dieu dunya teh lain beuki waras, da geuning ku ayana hak azasi, tempat-tempat jang pangaosan rock'n roll teh beuki loba bae di Bandung mah, lain nyaeutikan.
Sabot suku katuhu, kakarek antel kana tetecean angkot Gede Bage, nu gelo eta ngaliwat deui, ngahariring dipungkas ku ngagorowok, --uing teu jadi naek kana angkot,
"Sorry Bang, ada yang ketingglan," Kitu ngomong uing ka sopir Angkot, nyatakeun bolay, dibarung ku saeutik rada ngabohong;
"(Ngawih) Eling-eling mangka eling, rumingkang di bumi alam, ... (Ngagorowok) aing wayang, dijieun, dihirupkeun ku dalang purwaning dumadi," Ceuk eta nu gelo dibarung ngibing pencak silat.
"Beu, teupanasaran oge, uing tadi ngabohong saeutik ka sopir angkot teh, geuning meunang elmu tah, ... he..., he... apanan aya hak azasi ieuh" ceuk hate, nu pagaliwota jeung haroshosna pikiran.
Bener we geuning ceuk firasat, eta nu gelo teh siga lain jalma silung jore-jore, alias lain siwah ti kodrat bin ti leuleutik, najan bajuna rombeng, kaayaanana dekil, jeung bau ngaheos, kaluar tina awakna nu pinuh ku daki, tapi ari uteuknamah calakan pisan tah.
Jadi inget ka si Bedu, manehna pernah ngobrol ka uing, naon nu diwacanakeun ku Nitsze teh bener kacida yen Tuhan telah mati, ku alatan iman urang ka Mantena dipaehan ku hawa nafsu. Sigana eta pisan meureun, nu dirandapan ku nu gelo eta teh? Nu antukna jadi siwah, --teu bisa ngendalikeun nafsu dina diri.
"Apanan nafsu ayeuna mah nerapna teh dina hak azasi," Ceuk pikiran uing, nu mairan galecokna hate.
"(Haroshos) Sia ku aing dikecos, (Narikan) sia ku aing dikecos, (Ngagorowok) sia ku aing dikecos," Nu gelo eta ngomong deui, bari nangkeup tihang listrik, --dibarung nyeporkeun tulang pangentod.
Uing seuri nempo kalakuan manehanana, kitu deui jeung nu sejenna, nu kabeneran ningali kalakuan si eta nu gelo.
"Tah, ceuk hak azasi mah tong diseungseurikeun, apanan tadi ge dia ngadenge lin, yen si manehna ngomong kieu, --Kawih uing lain kawih sia, jig nyingkah ulah ngagunasika kaula?" Ceuk pikiran,
"Ah, kapanan seuri oge hak azasi lin?" Ceuk hate uing nu embung eleh ku pamadegan pikiran uing sorangan.
"Waduh, excident twelfth, boa-boa dia geus miring, ngagalecok wae sorangan?" Ceuk pikiran ka hate. Atuh puguh we, kuring ngagebeg saharita.
Reuwasna uing dibarung ku sora SMS nu asup;
"Anjrit," Uing ngagorowok teu sadar, nu digigireun uing kageteun, dipungkas ku nanya ka uing:
"Ku naon kang?"
"Eh,... itu nu gelo teh mani sagala nyaho!" Tempas uing ka manehna, bari jeung teu apal saha manehna nu nanya ka uing teh.
"Mentang-mentang aya hak azasi, teu jujur siah, mentang-mentang galecok hate teu kadenge, waduk siah!" Ceuk pikiran mairan.
"Enya Kang, sok we geura bandungan, ieu nu gelo teh lain samanea, mani capetang kitu, pencak silat bisa, kana kasenian apal, uteuk calakan katut encer dina ngobrol, cocok tah mun jadi Gubernur, jero pisan kana wawasan kisunda teh?"
"Sumuhun Kang, sok atuh akang tim suksena, kaleresan ayeuna keur rame kampanye PILGUB?" Ceuk uing, dibarung heureuy maksudmah. Atuh puguh we si manehna, beungeutna beureum eceuy bari tuluy ngaleos!
"Tah jelema nu kitu nu samar tenjo teh, can tangtu nu nyaho sagala bakal waras, apanan kabuktiananamah geuning siwah?" Ceuk pikiran, nu mairan deui.
"Keun we atuh, kumaha si akang itu we, apanan aya hak azasi ieuh," Ceuk hate, ngarasa meunang tina pikiran, nu ti tatadi kateter wae.
Teu sawatara lila, HP uing disada deui dibarung ku ngagurubug nada getar, nampa SMS anyar, aeh, asa ka ingetan apanan tadi teh aya SMS nu asup, can dibaca oge. Leungeun kuring ngurunyum, nyasar kana pesak calana nyokot HP. Eta SMS teh duanana ti Eneng Wening, popotongan hate kuring bihari;
"Sampurasun, nuju naon Kang?" Kitu unina SMS nu ka hiji,
"Aduh, mani teu ngawaleur, sihapunteuna tos ngaganggu? Nembe dina TV Eko sareung Ruben, ngabarkeun yen Gito Rollies sobat Akang tos ngantunkeun, ngiring bela sungkawa" Can ge dibalesan, si HP ngagurubug deui bari ngajerit, nampa deui SMS, masih ti Eneng Wening;
"Sihapunteuna ngaganggu deui, ieu mah bade naroskeun, naon ari hartosna purwaning dumadi?" Saeunggeus rampung maca SMS nu terakhir, dadak sakala hate jeung pikiran ngahiji akur, mairan nu anteub mata jeung beuheung nu luak lieuk dibantuan ku suku nu muar-muir awak, neangan jirimna Eneng Wening nu ceuk rarasaanmah manehna pasti aya di dinya. Saeunggeus teu kapanggih ku panon, hate jeung pikiran saling ngagayem pamadegan sewang-sewangan deui;
"Aneh, bet teu kapanggih, kapanan uing oge ngadenge kecap purwaning dumadi oge ti nu gelo, bieu pisan. Pasti si manehna ge aya, --nyakseni katut ngabandungan oge tingkah paripolahna nu gelo eta?"
"Alah ge-er siah maneh hate, apanan tadi na eusi SMS saanggalna, manehna keur nongton hiji acara dina TV nu ngabarkeun Gito Rollies mulih ka jati mulang ka asal?"
"Maneh oge ge-er, naha make milu neangan?" Ceuk hate uing nu embung eleh.
Seahna angin peuting, nganteurkeun 2 sora manusa anu keur uplek ngobrol ngajanteng di gigireun uing, atuh puguh we, ceuli uing nu lentaheun teh ngadadak rebing;
"Puguh ge Kang, mun urang keur solat mah hate teh sok pajuranteng, teu sapagodos jeung pikiran, beda lamun keur nyawang impian sok alakur?" Ceuk lalaki anu jangkung gede tur bucitreuk, ka baturna anu jangkung leutik. mun disidik-sidik mah siga angka 10 maranehna teh.
"Tah eta, leres pisan pamendak teh yie, matakna urang teh kudu salawasna inget Kanu Boga Urang, purwaning dumadi urang teh ti Mantena? Mun teu inget mah, bisi siwah kawas itu?" Bari curukna nunjuk ka nu gelo tadi, --nu masih anteng ngekeupan tihang listrik.
Uing gura-giru ngabales SMS, ka Eneng Wening, bari samemehna nebak-nebak naon babasan purwaning dumadi teh, da nga SMS ka Kang Dadan teu aya waleran, kitu oge ka Kang Pandu, katut Kang Dipa, basa tadi kuring ngadenge kecap eta ti nu gelo, langsung kuring nanyakeun naon ari hartosna purwaning dumadi teh? Tah, teu sawatara lila ti SMS uing nu dikirimkeun ka maranehanana, --uing nampa SMS ti Eneng Wening, anu sarua nanyakeun hartina purwaning dumadi. Atuh puguhwe asa kagunturan madu--karagragan bentang, basa 2 jalma ngalarapkeun eta kecap purwaning dumadi, kana kudu inget ka Mantena Ajawajala!
"Purwaning dumadi teh, babasan tina; asal muasal jadi, eta oge upami teu lepat. Eh, nembe tos lalajo nu gelonya?" Ceuk kuring ka Eneng Wening via SMS, ngayakinkeun hate, bari angger we pikiran mah teu panuju bin teu sapagodos sareung pamendak hate.
"Tah eta bentena panata acara nu lahirna ti kalangan tukang ngabojeg teh, kawas dia penyair, he, ... he ... he ... ceuk sakaol mah nu ngarana penyair, mibanda bibit buit purwaning dumadi gelo sanes?" Kitu unina, waleran SMS ti Eneng Wening teh.
Beu!

29 Februari 2008
Lebih Lanjut..