Jumat, 18 Januari 2008

asa teu kudu! "DaYa NaFaSkU tErAsA BeRaT, kEtIkA jAuH dArI dEtAk JaNtUnGmU" ga penting gitu lho!

Tadi malam Emih (Ibu) bilang gini : " Lakukan apa yang ingin kamu lakukan. Tapi pergunakan logikamu ketika akan mengambil keputusan, pergunakan emosimu ketika ingin membanding, pergunakan rasa toleransimu ketika menimbang dan pakai nalarmu ketika akan mengambil kesimpulan. Terakhir manfaatkan tawakkal dan imanmu ketika kamu siap menerima resiko "
Berat sekali. Itu hanya kata lain kalau Emih tidak menyetujui sikapku. Dan beliau selalu mengeluarkan kata-kata bijak.
"Pergunakan logikamu ketika akan mengambil keputusan", maksud Emih pastilah aku harus berfikir panjang, harus berfikir sebab dan akibat, harus berfikir tentang dampak, harus berfikir tentang resiko.
"Pergunakan emosimu ketika ingin membanding". Siapa yang gak tau indahnya cinta? meskipun lengkap dengan kepedihan dan hopeless? Tapi siapa juga yang gak tau ketika kita berfikir tentang jealous, tentang kesakitan menerima kabar gak enak, menerima kabar tentang ketidaksetiaan secara fisik meskipun kita sadar kuatnya kesetiaan secara batin? Ketika kita mengingat semua memory indah sekaligus memory yang perih? Inikah yang Emih maksud dengan membanding secara emosional? Karena indah dan perih itu sama kuatnya?
"Pergunakan toleransimu ketika akan menimbang" ups,... ini yang berat karena aku gak bisa menulisnya di blog. Tapi aku mengerti, sangat mengerti maksud Emih. Emih bilang dengan bahasa "balai pustaka" : "Seperti menarik selembar rambut dari tepung, usahakan supaya rambut yang ditarik tidak putus, dan tepung tidak terserak". Tentu saja ini memerlukan ketelitian , kesabaran, dan kehati-hatianan yang luar biasa. Rambut itu adalah orang yang kucintai, dan tepung itu adalah orang-orang disekitarku yang juga teramat sangat aku sayangi.
"Pergunakan nalarmu ketika akan mengambil kesimpulan". Hmm,... maksud Emih pastilah aku harus memikirkan masa depan yang masih panjang, positif dan negatifnya, buruk baiknya, manfaat dan mudhoratnya, dampak kebanyak orang, dampak kediriku sendiri, dampak ke diri orang yang aku cintai, dampak buat orang-orang sekitarku yang sangat aku sayang, dampak buat calon orang-orang disekitarku kelak.
Sangat berat, bahkan aku bisa bilang sangat sakit., --rasanya seperti menghunjam ditempat yang paling menyakitkan.
Terlebih ketika Emih bilang yang terakhir. Tentang "tawakkal dan iman untuk siap menerima semua resiko". Aku tahu, Emih sudah membayangkan mana yang berat dan mana yang sedikit lebih ringan. Mana yang besar manfaatnya dan mana yang sedikit. Seperti kata dia, (orang yang telah meninggalkanku, meninggalkan luka cinta), mana yang pantas dan mana yang tidak pantas (aku gak akan menggunakan kata-kata halus Bening, yang aku bilang "pas", karena ejekanmu yang sarkastis membuat munculnya luka baru yang lain).
Apa kesimpulan dari semua ini? Sejak Emih ngeliatku ngobrol lama dan saling memahami sisi terang dan gelap masing-masing, tentu saja dengan dia; Emih bersikap bijak untuk tidak marah atau menegur dengan kata-kata kasar. Emih mengeluarkan kata-kata itu ketika kami jalan pagi setelah subuh. "melihahat sunrise" kata Emih. Menghirup udara pagi yang belum tercemar setelah semalam hujan. Kami ketaman yang tak jauh dari rumah. Ada kolam besar dan memanjang disitu (Sungai),... indah dengan temaram lampu-lampunya. Rumah seorang keturunan latarnya, dan ini membuat aku merasa seperti melihat kartu pos bergambar, nan eksotik.
Kami duduk di salah satu kursi taman yang dibuat untuk 2 orang. Emih menggenggam tanganku, aku bersandar dibahunya.
Dia ibuku, Emihku yang sangat bijak. Aku gak bisa membayangkan kalau Ibu gak ada lagi. Dia memanggilku yayangku yang paling lemah. Mungkin maksudnya karena aku sangat melankolic secara emosional dan penyakitan secara fisik (Kadang-kadang). "Anakku yang tak bisa berlari,..." kadang-kadang Emih bilang gitu, dan ini memang kenyataan :-), "yayangku yang mudah menangis semudah dia tertawa, buah cintaku yang suka bersandar dibahu padahal dia lebih tinggi dari bahu itu". Dan yang sering Emih bilang,... "kemana anakku yang nasi gorengnya enak? " Ini aba-aba kalo Emih minta dibikinin nasi goreng sangrai + kornet buat sarapan.
Kalaupun sekali waktu nanti aku akan mengambil sebuah keputusan yang tegas, semua itu aku lakukan dominan karena Emih, yang telah lama ditinggal pergi oleh Bapak, --menuju rumahNya. Menyusul karena toleransi ketika akan menimbang, setelah itu baru karena emosional ketika akan membanding baru kemudian karena nalar ketika akan mengambil kesimpulan. Semua dominan karena Emih, dan tentu saja karena hal yang terakhir ketika aku harus memanfaatkan iman dan tawakkalku ketika siap menerima semua resiko.
Aku ingat kata-katanya semalam: "kalau kamu menikah kelak, itu bukan karena aku. melainkan jatuh cinta lagi atau kamu ingin kembali pada Bening? Tapi karena Tuhan memberimu, kesempatan untuk memilih yang terbaik, untuk menempuh kebahagiaan tanpa beban. Dan kamu harus kuat, demi masa depan kamu yang lebih baik tanpa aku."
Kalian semua tau,...? hatiku tetap pedih dan sakit. Tapi itu bukan sebuah kematian. Maksudku itu bukan akhir dari semuanya. Hidup mesti berlanjut, dan semua itu aku lakukan dominan karena Emih.
Manakala aku sekarang sudah menemu makna dari dialog-dialog tersebut, --dimana kekuatan yang bisa mengungguli kecepatan cahaya dan suara adalah pikiran.
Dimana kekuatan yang maha dahsyat adalah kasih sayang Ibu.
Dimana ketinggian yang melebihi langit ke 7 adalah do'a seorang ibu.
Dimana rimbun yang melebihi hijaunya rumput adalah keinginan.
Kini aku paham semuanaya ibu; manakala hidup adalah rangkaian pelajaran yang harus dihayati untuk dimengerti.
Meski aku sadar, kadang sesuatu yang indah terlarang untuk dijalani, sementara sesuatu yang dijalani atas doa restu, hanya membawa duka dan derita!
manakala cinta tidak pernah meminta yang lebih dari apa yang kita miliki!
Dimana daya nafasku terasa berat, ketika jauh dari detak jantungmu, ibu!
O, hidup!

0 komentar: