Kamis, 15 Januari 2009

Ode untuk Mahasiswa Baru

Ode untuk Mahasiswa Baru
Oleh: Kelik Nursetiyo Widiyanto

Dari mulai sepatu, kaos kaki, celana, kemeja/ CD, singlet, BH, bolpoin, buku tulis, penggaris/ penghapus…pokoknya yang menunjang sekolahku/ semua serba baru.// O tak lupa papaku belikan aku sebuah jam tangan/ agar aku tak lupa waktu. Esok harinya mamaku belikan aku/ handphone. Katanya, bila ada apa-apa/ dapat dihubungi dan menghubungi/ dengan cepat dan praktis lagi// Lusanya aku diberikan mobil. Katanya; agar aku tak terjebak/ dalam kemacetan, yang menyebabkan ketinggalan pelajaran/ juga agar aku tak kepanasan tak kehujanan/ biar tubuhku tetap terjaga kesehatannya, katanya// makanku, tentu saja terjamin. Setiap tiga bulan sekali/ aku cek-up ke dokter pribadiku// di kampus aku disegani dan dihormati/ aku rajin kuliah/ tetapi aku tetap saja enggak bisa apa-apa// awas, jangan bilang sama papa/ dan mamaku, ya?

Puisi Aku Mahasiswa Baru karya Doni Muhammad Nur di atas merefleksikan kepada kita belajar di perguruan tinggi sekarang ini cenderung lebih sebagai gaya hidup saja. Kebanyakan mahasiswa baru hanya berganti baju saja dari berseragam menjadi berpakaian bebas. Hanya tampakan luarnya saja yang berbeda sementara pola pikir dan metode belajarnya masih seperti kala ia mengenakan seragam putih-abu. Adalah orientasi penerimaan mahasiswa baru bertindak sebagai jembatan bagi mahasiswa baru untuk mengenal pola belajar di kampus sehingga tidak menganggap kampus sebagai SMTA kelas empat.
Dalam perjalanan perkuliahan, ketika dosen berhalangan hadir, bisa dihitung dengan jari beberapa mahasiswa saja yang berinisiatif ke perpustakaan atau menggelar diskusi di kelas. Mereka lebih senang menghabiskan waktu dengan kongkow bersama di kantin, kafe atau mal-mal. Ketika dosen menerangkanpun tak sedikit dari mereka yang lebih senang menjadi pendengar setia daripada berpikir kritis.
Di waktu senggang mereka lebih senang nongkrong di Dago, malam harinya dugem di diskotik-diskotik Jalan Sudirman. Atau bahkan hanya keliling-keliling Bandung pake mobil papa, jajan di pusat jajan kota dari Lembang hingga Otista. Anggaran belanja setiap bulannya lebih banyak dibelikan baju, celana, aksesoris di factory outlet yang di kota bandung bagaikan warung rokok. Tak lupa biaya nonton bareng pacar minimal seminggu sekali, nraktir teman di awal bulannya. Hanya sekian persen saja yang dibelanjakan buku-buku kuliah. Buku-buku itupun dibeli jika dianjurkan dosen untuk membeli, tak jarang buku yang ditulis oleh sang dosen.
Bagi mahasiswa borjuis mungkin hal tadi hanya setetes air di luasnya samudera kehidupan. Tetapi bagi mahasiswa proletar yang pergi kuliah dengan jalan kaki, maksimal naik bus kota membayarnya pun dengan karcis abudemen. Jangankan untuk jajan di Batagor Riri atau Surabi NHI, dengan alasan penghematan mereka berpuasa senin-kamis bahkan puasa Nabi Daud. Pendapatan setiap bulan tak cukup untuk menceburkan diri sebagai generasi nongkrong. Buku yang dibelipun beberapa buah saja bukan tak butuh tapi tak ada dana. Untuk mengerjakan tugas nebeng dengan kawan yang punya komputer, lumayan gratisan. Ironis kan?
Ada pameo di kalangan kampus dikenal istilah mahasiswa silabus. Mahasiswa jenis ini hanya mengkonsentrasikan otaknya untuk ilmu yang bakal diterima dari sang dosen sesuai dengan agenda belajar. Tidak ada inisiatif untuk mempelajari hal-hal di luar pelajaran-pelajaran yang harus mahasiswa santap. Padahal belajar di perguruan tinggi, mengutip filosof barat think globaly act locally.
Untuk mendapat nilai terbaik ada banyak jalan, halal maupun haram. Bila mengikuti prosedur maka sang mahasiswa harus belajar ekstra keras sekaligus mampu menyelesaikan tugas dan ujian sesuai dengan kehendak dosen. Cara lain yang lebih taktis ialah menggunakan kawan sebagai joki, namun yang lebih efektif dan efisien ialah menggunakan personal approach dengan sang dosen. Jika dosennya laki-laki mata keranjang dan Anda mahasiswi berparas cantik, tinggi, langsing dan mempunyai daya pikat luar biasa, Anda bisa menggunakannya. Tentu saja dengan resiko harga diri yang tergadaikan.
Demikian pula untuk mendapatkan ijazah, bagi mahasiswa borjuis mungkin tak terlalu susah. Selain dalam perjalanan kuliah akan mendapatkan kemudahan dengan biaya yang tidak perlu dikhawatirkan. Diakhir kuliahpun tanda bukti kelulusan dan transkip nilai bisa ditukar dengan beberapa lembar uang seratus ribuan. Tapi sebaliknya bagi anda mahasiswa yang kembang-kempis mungkin mengikuti prosedur yang birokratis mau tak mau harus ditempuh.
Tantangan sesungguhnya yang bakal dihadapi justru kelak setelah lulus kuliah. Bagi mahasiswa yang telah memupuk kedekatan dengan banyak relasi mendapat pekerjaan tidak menjadi sulit. Sebaliknya jika selama menjadi mahasiswa tidak banyak bergaul, mendapat kerja seakan memakan kepala sendiri.
Kerja. Ya, pendidikan kita masih mengorientasikan mahasiswa sebagai objek. Sang objek ini diproyeksikan untuk bekerja di tempat orang lain. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya pelatihan enterpreneurship (kewirausahaan). Padahal, materi kecerdasan menciptakan lapangan pekerjaan seharusnya menjadi kajian selama perkuliahan.
Bagi Anda mahasiswa baru, paparan di atas sekedar sekelumit bayangan dunia kampus. Bukan untuk ditakuti bukan pula untuk diabaikan. Masuki kampus dengan jiwa terbuka, sehingga kita bisa menjadi lebih toleran dengan orang lain. Jika Anda sudah duduk di bangku kuliah namun tetap arogan, rasanya Anda gagal menjadi mahasiswa. Jangan menjadi mahasiswa yang rajin kuliah tapi tetap tidak tahu apa-apa.

Mar 20, '07 4:57 AM
for everyone
dicoppy dari blog "jejak maskelik" multyply.com

1 komentar:

Maulana, M mengatakan...

Wah...kang Bner pisan tuh Artikel.....kebanyakan Nak2 tuh pikirannya seMpit...dan maunya Instan Termasuk..??? h3h3h3...!
--tapi tak sedit yg bener2 ingin menuntut ilmu,