Senin, 30 Juni 2008

UNTUK KAU BACA "side 2"








entar
tiba pada suatu titik
dimana kita akan ngerti
siapa yang pernah berarti
siapa yang sedang berarti
dan siapa yang akan selalu berarti
jadi jangan selalu sering
menengok masa lalu
karena setiap orang punya alasan masing-masing
untuk tidak hadir di masa depan!



met pagi rab, ...
gw tidur dulu ya, ...
wish you all
happy good morning, ...

o, yap, ...
hampir aja lupa, ... eum, ...
salahkah jika aku mencintai
sahabat karibku sendiri?
Lebih Lanjut..

KOMPAS "30 juli 2008" HUMANIORA


ANGKLUNG BADUD
DI TANGAN PENYAIR

Oleh: Tomy Himura


“Apa yang akan terjadi di atas pentas, bila seorang penyair menyutradarai seni tradisional (buhun) “Angklung Badud” manakala jenis kesenian helaran ini diperkirakan sudah mencapai ± 130 tahun?”
Tidaklah heran bila seni akting di atas panggung (Teater) disutradarai oleh seorang penyair. Di Indonesia, sudah tentu; itu hal yang lazim, --katakanlah seperti W.S. Rendra, Putu Wijaya, Rachman Sabur dan Suyatna Anirun. Inilah yang menarik perhatian penulis untuk membahas Seni Buhun Angklung Badud, dari Kelurahan Sukamaju Kaler, Kecamatan Indihiang, Kota Tasikmalaya. Rakean Wanen Ismaya (salah satu nama pena dari 9 nama pena yang dimiliki oleh Doni Muhamad Nur), memperlihatkan bentuk baru hasil revitalisasi dari kesenian ini di Teater Terbuka Taman Budaya Dago Tea House, Bandung Sabtu (28/06/08) malam.


Konsep Garap

Pementasan Angklung Badud kali ini, Ismaya menggiringnya pada konsep garap oratorium. Pagelaran dibuka dengan tampilnya Sang Badud (berbarengan dengan musik pembuka/overture) yang digambarkan sebagai pria konyol, namun punya ilmu kesaktian yang tinggi. Kemudian sang badud mendekati jampana. 3 menit berlalu, kemudian muncul arak-arakan dari 2 arah yang membelah panggung, meliuk-liuk seperti ular haus mangsa; pasukan tersebut, adalah tim dogdog dan tim angklung yang mengiringi tim jampana. Kemudian tim jampana mendekati jampana yang sudah ada di tengah tengah panggung. Sang badud memanggil anak yang akan disunat dan menuntunnya ke kursi bambu (jampana). Setelah anak duduk. Kemudian tim angklung mengerumuni jampana itu, membentuk lingkaran dalam wujud kerucut. Dikatakan Ismaya, “kerucut dibuatnya adalah sebagai perlambang antara dunia atas tengah dan bawah”.
Sebelum anak itu di arak untuk turun mandi, sang badud merajah anak tersebut, sebagai perlambang doa untuk keselamatan. Perlahan-lahan kerucut yang membungkus jampana membuka dan penari masuk dari arah penonton, menaburkan bunga melati kepada para penonton yang hadir, calon pengantin sunat dan seluruh tim angklung badud. Sementara sang badud menyalakan parupuyan, sebagai symbol sempurnanya rajah. Di sini, Ismaya pun punya alasan tersendiri, mengapa bunga melati yang dipilihnya? “Melati, khususnya di dunia timur, sebagai perlambang kelahiran, perkawinan, dan kematian. Bukankah sunatan pun, sebagai perkawinan alam kaum ikhwan yang beragama islam, dimana sunatan, adalah sunah Rassull yang wajib dilaksanakan. Disamping untuk kesehatan. Pun alasannya sangat logis, sunatan, sebagai symbol lelaki menuju akil balig”.
Upacara ritual pun selesai dilaksanakan. Tak lama dari sana, muncul tim kuda lumping. Setelah beberapa saat beraksi. Sang badud memerintahkan kepada seluruh timnya untuk mengarak calon pengantin sunat menuju balong. Lagi-lagi di sini, Ismaya punya symbol tersendiri akan pemilihan kuda lumping; “kuda lumping dipilih, sebagai symbol kejantanan. Bukan berarti kuda lumping itu symbol black magic”.
Sesampainya di balong, sang anak dimandikan. Kegunaan mandi ini, sebagai penyucian diri dan juga berfungsi sebagai obat bius. Manakala zaman dulu, belum mengenal obat bius. Supaya anak tidak setres, dalam pemandian yang dilakukan oleh sang badud. Sang badud menyuruh timnya untuk menghibur anak tersebut dengan tari-tarian kocak. Tim penari yang memakai topeng karikatur, kuda lumping yang menari-nari diselingi tingkah sang badud yang bermain silat kocak. Dalam turun mandi ini, sang anak dimandikan dengan air beras. “Dimana menurut kepercayaan orang di zaman dulu, mandi dengan air beras, sebagai perlambang terbentuknya kita dari saripati alam. Dan juga air beras berfungsi untuk melenturkan kulit penis yang akan dipotong (sunat)”.
Turun mandi pun selesai. Kemudian calon pengantin sunat itu, diarak kembali menuju rumah paraji sunat. Sambil menunggu anak yang sedang disunat, sang badud kemudian menyuruh timnya untuk memainkan musik shalawat. Sementara tim penari, menari-nari bak seorang sufi yang rindu Cahaya Maha CahayaNya. Di sini pun, Ismaya, tak luput dari symbol: “dalam sebuah hadist dan riwayat, barang siapa yang mengumandangkan shalawat, maka ruhku (Muhammad SAW) akan hadir dan bertasbih untuk majelis tersebut dan sekitarnya. Shalawatpun saya terapkan, dimana titah sunatan adalah anjurannya yang wajib dilaksanakan oleh kaum muslim”.
Upacara sunatan pun selesai, sang anak kembali hadir ke atas pentas dengan tim jampana. Tim angkung kembali memburu jampana yang ditunggangi sang anak, membentuk symbol kerucut (segi tiga). Kemudian mereka semuanya menyebar, sorak-sorai, sebagai wujud kegembiraan, irama musik yang seenak udel, tarian yang tak teratur, kuda lumping yang motah. Hal ini disuguhkan Ismaya, “sebagai wujud ekspesi naluriah kemanusiaan yang melampiaskan kegembiraan, manakala sang anak telah berhasil melaksanakan sunah Rassull, sebagai bentuk jihad pula dalam menegakkan syariat islam. Adapun kerucut yang terakhir ini, sebagai symbol sudah terkelupasnya kulit yang menutupi kepala jakar”.
Kegembiraan yang tak terkendali, disadarkan kembali oleh sang badud, kemudian seluruh tim angklung badud, memainkan musik bribil, dengker & bangsower. Sang anak yang masih duduk di atas jampana, setelah turun dari pundak pembopongnya, sang anak disuguhi tarian semacam adu manis yang disusul dengan demo kuda lumping. “Hal ini saya maksudkan, manakala tarian semacam adu manis ini, sebagai symbol kedewasaan. Dimana sang anak harus melanjutkan keturunan. Dalam agama islam. Perkawinan adalah bagian dari separuh perjalanan, --menjalankan syariat islam. Sedangkan demo kuda lumping, saya maksudkan, --dimana hidup adalah lembah dan jurang yang harus kita maknai. Manakala hidup adalah rangkaian pelajaran yang harus dihayati untuk dimengerti”.
Suguhan tari-tarian pun usai dilaksanakan. Kemudian Sang Anak diarak kembali. Untuk menuju kediaman rumahnya. Oratorium pun selesai. Sebuah pertunjukkan yang syarat symbol itu, hasil dari revitalisasi, dikemas secara apik oleh Ismaya. Dengan alur kisah untuk memberikan pemahaman kepada para apresiator, dimunculkannya suara narator.
Percaya atau tidak, menurut Ismaya, pementasan yang cukup spektakuler ini, dipersiapkan hanya dalam waktu 10 hari saja. Dimana Ismaya mendapat tugas dari DISBUDPAR Provinsi JABAR yang bekerjasama dengan PUSLITMAS STSI Bandung, untuk mengadakan pelestarian budaya, pada jenis-jenis kesenian buhun yang hampir punah. Ismaya datang ke Kota Tasikmalaya tentu tidak sendirian, ia dibantu oleh Dadang Hriyanto (Sarjana Tari) dan Usman Suhana (Sarjana Karawitan). Sedangkan Ismaya sendiri, yang lebih terkenal sebagai penyair, ketimbang teaterawan, ia lulusan STSI dari jurusan Teater, program studi Penulisan. Inilah yang membikin decak kagum apresiator malam itu. Lain halnya, bila Ismaya lulusan program studi Penyutradaraan di Jurusan Teater. Ismaya yang membikin skenarionya sendiri, sekaligus menyutradarainya. (Red. --baca kompas 30 juni 2008)

Sejarah

Dalam bentuk aslinya, pada jenis kesenian helaran ini, hanya ada tim dogdog dan tim angkung yang dipimpin seorang badud. Manakala 1 buah trompet, dogdog ada 4 buah dan angklung ada 13 buah. Dimana 2 angkung disebut tilingtit dan 11 angklung disebut rowel. Adapun, iringan yang membawa beras dalam boboko, adalah keluarga si pengantin sunat. Sedangkan anak calon pengantin sunat di gandong oleh sang badud.
Badud di sini, tidak sembarangan badud, namun orang yang mempunyai kesaktian. Karena saat itu situasi masih dalam suasana belum merdeka, seni angklung badud ini dipimpin oleh sosok seorang pemberani yang kesehariannya selalu memakai busana khas, sehingga dijadikan sebagai kokolot/lengser yang bertugas memimpin arak-arakan tersebut, yang kemudian orang tersebut diberi istilah dengan sebutan badud. Kemudian pada perkembangannya jadi popular dengan sebutan Angklung Badud.
Dikatakan Ismaya, berdasarkan cerita dari Mak Icih (77 th), sebagai pewaris asli yang masih hidup: “angklung badud ini diciptakan oleh bapaknya Mak Icih (Aki Satimi), kemudian diturunkan pada mantunya, Abah Wadma (suami Mak Icih yang meninggal dunia pada usia 83 tahun di tahun 2004). Sebelum sampai pada kepemimpinan sekarang, Kang Unang Bolu, ada 3 pimpinan yang lupa lagi namanya. Menurut Mak Icih, Aki Satimi memperoleh ilmu silat dan musik angklung ini dari Nyi Ronggeng. Dan tidak menutup kemungkinan asal-usul kesenian yang dipimpin bapaknya di zaman dahulu adalah warisan dari Nyi Ronggeng, sebagai guru spiritualnya Aki Satimi. Sedangkan guru Nyi Ronggeng, Mak Icih tidak mengetahuinya secara pasti”.
Jenis kesenian helaran ini, disamping sebagai arakan pengantin sunat, pun di zaman dulu berpungsi sebagai penghibur lomba Layangan, Panahan dan arakan serta hiburan Kawinan.
Berdasarkan cerita Mak Icih yang kembali diceritakan Ismaya kepada penulis: “setiap malam selasa dan malam jum’at. Angkung & dogdog suka dikasih sesajen. Dan suka hidup sendiri (bermain musik) tanpa dimainkan oleh orang.
“Angklung ini ada 2 paket. Angklung di zaman kepemimpinan Aki Satimi, berbeda dengan angklung di zaman dalang Abah Wadma. Angkung yang mentas malam itu, adalah angklung di zaman Abah wadma. Dan dogdognya dari zaman Aki Satimi. Hanya trompetnya yang tidak asli. Dimana trompet tersebut, belum bisa diwariskan, oleh pemegang trompetnya di zaman Abah Wadma. Inilah yang membuat regenerasi seniman angklung badud tidak mudah, --karena harus dilakaukan pada keturunan seniman yang asli.
“Seperti yang dikatakan Mak Icih pada saya, hilangnya 1 paket angklung di zaman Aki Satimi, ketika itu, pada saat pagelaran 17 agustus. Dipinjam oleh warga desa, tempat kelahiran Aki Satimi. Namun angkung tersebut tidak pernah lagi kembali. Zaman genting di tahun 63, krisis ekonomi, --ketika aki Satimi mau meminta angklungnya kembali pada warga, angklung tersebut sudah jadi suluh dan orang-orang yang membakar angklung tersebut (sebagian orang yang masih hidup di zaman Aki Satimi yang membakar angklung tersebut menjadi suluh, untuk menyalakan hawu), kini menjadi tuli dan ada juga yang jadi buta. Seperti kena kutukkan. Wallahu a’lam.
“Menginjak kepemimpinan Abah Wadma, mantunya Aki Satimi; maka regenerasi angklung badud, harus pada keturunan yang asli. Jika tidak, maka angklung tidak mau berbunyi secara nyaring dan menggema, ketika ditabuh.” Wallahu a’lam.
Terlepas dari itu semua, revitalisasi yang dilakukan Ismaya dan soulmetnya (Dadang & Usman, cukuplah menohok. Manakala Tasikmalaya terkenal sebagai julukan kota Santri. Ismaya pun mengemas pertunjukkan kali ini dengan konsep dan symbol yang syarat islami pula.
Malam itu, dalam format Etalase Bambu 3, Program Taman Budaya Jawa Barat, Bandung, Selain angklung badud, ditampilkan pula jenis kesenian serupa. Hasil revitalisasi; Angklung gubrag dari Kabupaten Bogor dan angklung sered dari Kabupaten Tasikmalaya.
Angklung telah memberikan warna di berbagai kesenian tradisional di Jawa Barat. Sepertihalnya seni Angkung Badeng dari Garut, Seni Angklung Ujo dari Bandung. Seni Angklung Badud yang sempat menghilang ini, yang sudah direvitalisasi oleh Ismaya, adakah akan menghilang kembali? Apa tindak lanjut berikutnya DISBUDPAR JABAR umumnya, serta DISBUDPAR Kota Tasikmalaya hususnya, untuk melestarikan kesenian angklung badud ini yang konon usianya sudah mencapai ± 130 tahun?***1 juli 2008***

_______
sepenggal tulisan ini pernah dipublikasikan di majalah GONG
tulisan ini di ambil dari blog tomy.maulana.co.cc


Kalau yang di bawah ini. tulisan orang lain, --ditulis oleh Wartawan KOMPAS JABAR.



Lebih Lanjut..