Kamis, 09 Oktober 2008

UNTUK KAU BACA "side 6"

Merahnya Ungu
cerpen: Lintang Ismaya


Angin itu datang tiap waktu, dari berbagai penjuru. Berputar. Ada yang dari barat. Kali ini, angin kembali datang dari timur. Musim demi musim silih menyilih, masing-masing menawarkan ribuan mimpi. Burung-burung terbang, mengikuti angin musim. Harapan demi harapan mekar. Keabadian hanya ada dalam kenangan.
Masih kusimpan, saputangan yang menyimpan air mata, –luka batihnmu. Malam itu; mengunjungi bola matamu, tak kutemukan lagi warna pelangi. Binar-binal manja kekanak-kanakkanmu kepadaku, –tak mencuat kepermukaan. Ada apa denganmu?
Sarang laba-laba jadi tabir di pintu bola matamu yang purnama. Bentangan-bentangan jaringnya membentuk irisan cahaya, semacam warna pelangi. Ada matahari di belakangnya, –semacam bola api dendam. Ada apa denganmu?
Kenapa estetika bola matamu diganti dengan motif matahari yang dijaring sarang laba-laba? Meski benang-benang halus sutra laba-laba memantul bias matahari, –memancarkan indah komposisi pelangi. Namun itu bukan pelangi yang biasa aku temukan di binar-binal bola matamu. Ada apa denganmu? Kehilangan pelangikah seperti aku?
Hei,.. adakah dikau mengganti kedua bola matamu saat musim liburan panjang? Musim apa yang sedang mengatmosfir di kedua bolamatamu kini? Tancap kayon sudah aku digiring fijar matamu, –mengembara ke negeri enigma. Bicaralah?
Tak henti-henti air matamu mengalir, haruskah setiap luka kerap dibasuh tangisan? Tidak. Selalu saja ada kelokkan dalam menempuh ini hidup, begitulah, –kenyataan tak seindah yang dibayangkan. Ada batas-batas yang tak bisa ditembus dengan logika. Kau tahu? Kesadaran tertinggi adalah pasrah dalam segala hal. Benar, kita sudah mengetahuinya, persoalannya sekarang adalah, –tentang perakteknya.
Look. Lihat-lah, lengan kirimu sekarang bertato. Tato bunga melati, –berhias motif bulu cendrawasih. Sejak kapan kau jadi liar? Melati?
Shell we get married? Maukah kita menikah?”
But Why are you asking? Kenapa kamu bertanya?”
Tatto. Do you want to get married? Tato. Apakah kamu ingin menikah?”
“Aku pernah berpikir tentang perkawinan, tentang keluarga, tentang hidup berumah tangga. Itu dulu. Belakangan ini tidak pernah terpikirkan lagi?”
**
Angin itu datang tiap waktu, dari berbagai penjuru. Berputar. Ada yang dari barat. Kali ini, angin kembali datang dari timur. Daun-daun dipangkas angin dari tangkainya, –melayang-layang tak jelas gerak dan arahnya, sebelum akhirnya jatuh ke bumi. Guguran demi guguran daun, diasuh detik; menjadi humus. Menyuburkan pohon. Melahirkan pohon. Memberi harapan baru. Keyakinan hanya ada dalam diri.
Keabadian itu tak ada dalam pertarungan hidup. Yang ada hanyalah kemuliyaan, dimana suatu problem adalah arena perjudian dibungkus cuaca hati. Dimanapun aku berpijak, di sanalah rumahku dalam naungan sukma tanpa area kata-kata sebab nurani telah terpatri di dasar jiwa.
Sendiri menemu sepi dalam mimpi. Aku yang terpaut dalam galau hati, entah kekuatan apa yang menggali inti rasa, tiba-tiba saja aku terjerat asmara. Aneh memang, –adakah ini yang dinamakan: demikian rahasia hari-hari yang kita lewati? Padahalal diri ini merindu hadirnya entah, –bukan itu.
Infatuation, ketertarikan sesaat. Ketertarikan sesaat? Hanya tergila-gila sebentar, belum sampai tingkat ketidakwarasan. Kewarasan adalah keadaan otak dan cinta melampaui otak. Rasio, logika dan apa saja yang berasal dari otak, –cinta melampaui semuanya. Lalu apa yang menjadi dasar bagi hubungan seperti itu? Infatuation atau ketertarikan sesaat harus berlandaskan sesuatu. Apalagi kalau bukan badan? Satu badan menarik badan yang lain. Satu badan terasa menarik oleh badan yang lain. Satu badan tertarik pada badan yang lain. Seks? Mungkin?
Pikiranku melayang, terkenang pada kisah Sapo, Cynaro de Bergerac, Hamlet; mungkin itu cinta? Yap, tentu cinta; sehingga bisa melampaui batas-batas kelahiran dan kematian. Itu sebabnya cinta disebut abadi?
“By the way. Ngomong-ngomong. Semalam aku berpikir tentang hubungan kita. Selama beberapa hari ini, kita jalan bersama. Setiap hari bertemu. Lalu aku berupaya untuk melihat ke dalam diri. Perasaan apa yang aku miliki terhadapmu. Cinta? Ups, rasanya terasa sulit untuk menjelaskan perasaanku dengan satu kata ‘cinta’. Ada caring—kepedulian. Ada keinginan untuk sharing—berbagi rasa. Ada cinta, ada persahabatan, ada rasa hormat. Bahkan, ada juga rasa rindu kalau belum menerima telephone atau SMS darimu. Campur aduk rasanya. Kita memang tidak merasa saling memiliki, tapi kita sering merasa kehilangan?”
“Sudahlah, jangan berfikir banyak. Tidak perlu memberi nama kepada hubungan kita. Yang jelas bukan seks. Bukan pula cinta. Mungkin kasih?”
“Lalu apa definisi kasih?”
“Akupun tidak tahu. Tak terjelaskan. Kata orang shaleh, kasih itu Allah?”
“Lalu bagaimana menjelaskan Allah?”
“Seperti yang kau bilang; kita memang tidak merasa saling memiliki, tapi kita sering merasa kehilangan. Mungkin?”
“Siapa yang menciptakan kasih?”
“Allah?”
“Kalau begitu, yang diciptakan harus menjaga yang menciptakannya?”
“Maksudmu?”
Shell we get married? Maukah kita menikah?”
But Why are you asking? Kenapa kamu bertanya?”
Kasih. Do you want to get married? Kasih. Apakah kamu ingin menikah?”
“Aku pernah berpikir tentang perkawinan, tentang keluarga, tentang hidup berumah tangga. Itu dulu. Belakangan ini tidak pernah terpikirkan lagi?”
**
Angin itu datang tiap waktu, dari berbagai penjuru. Berputar. Ada yang dari barat. Kali ini, angin kembali datang dari timur. Wangi mawar diterbangkan angin. Terhisap parat ke liang nyawa. Menyengat. Seperti ayat-ayat kauniah, kian aku meraba abatatsa, tafsir demi tafsir mekar, melahap pikir dan rasa, detak jantung tak teratur pacunya; rindu cahaya maha cahaya. Risalah hidup manusia adalah kejelasan.
Ada yang mencintaimu sendirian saja, ketika kau sedang kuncup. Ada yang mencintaimu beramai-ramai, ketika kau mekar dan mulai merajuk, siapa yang akan mencintaimu, ketika kau mulai layu dan membusuk?
Aku kenali engkau, wahai wajah angkuh namun sesungguhnya di hatimu menyimpan gelisah. Aku kenali engkau dari ketegaran raga bak batu karang tahan gelombang di lutan, namun sebenarnya jiwamu rapuh. Diplomasi dalam meja kantor, pemecahan masalah, konsultan, tak diragukan lagi, feminisme adalah trade mark dirimu. Nyaris tak ada cinta di wajahmu. Tidak merindukan datangnya seorang pemimpin, untuk melunaskan kesepian demi kesepian hari-harimu. Aku tahu, dibalik topeng siangmu; setiap malam, sambil tiduran, kau habiskan membaca buku-buku novel, kisah-kisah romantik, menghayal tentang terjadinya prosesi sebuah pernikahan yang begitu takjub, ajib dan sempurna.
Para bidadari bertindak sebagai pendampingmu, dan mengangkatkan gaun pengantinmu. Di belakangnya para bidadara bersikap kesatria, mengawal engkau, yang riang bersepuh harap-harap cemas, menunggu kedatangan pangeran pilihan hati.
O, aku tahu semua itu dari sorot matamu. Aku tahu semua itu dari bantal-guling yang kau keloni, menyisakan karat purba yang amis telur. Jangan kau dustakan diri dengan kedok keangkuhanmu. Ketegaran batu karang di lautan yang kau hisap menjadi sari pati tubuhmu, sesungguhnya itu semua ketidak berdayaanmu, menghadapi realita.
Semakin kau menghindar dari kenyataaan hidup, kian jauh dari angan-angan yang kau cita-citakan. Pejamkan matamu, menyelamlah kedasar laut pikiranmu, biarkan kejujuran berbicara apa adanya. Sebab di sana tersimpan cahaya Illahi.
“Hiburlah hatimu waktu demi waktu,… karena hati yang lelah akan buta. Cinta apa yang sedang kau tunggu? Kasih apa yang sedang kau nanti? Siapa yang menggerakkan pikir dan rasa?”
“HujahNya!”
Shell we get married? Maukah kita menikah?”
But Why are you asking? Kenapa kamu bertanya?”
HujahNya. Do you want to get married? HujahNya. Apakah kamu ingin menikah?”
“Aku pernah berpikir tentang perkawinan, tentang keluarga, tentang hidup berumah tangga. Itu dulu. Belakangan ini tidak pernah terpikirkan lagi?”
“Janganlah berhenti di terminal pengalaman. Setiap terminal harus dilewati, dilalui; ditinggalkan demi perjalanan itu sendiri. Kebebasan dari terminal pengalaman, itulah hujahNya. Itulah kebebasan sejati!”
“Tapi kita terpatok nada; sahabat?”
“Sssst,… I love’u?”
Angin itu datang tiap waktu, dari berbagai penjuru. Berputar. Ada yang dari barat. Rab, kali ini, angin kembali datang dari timur. Warna pelangi di bola mata kita, yang sempat menghilang, kini kembali kita temukan; di hujahNya!*** bumiemih, 30092008



________
Lintang Ismaya. Nama pena dari Doni Muhamad Nur, Lahir di Tasikmalaya pada tanggal 01 oktober 1979 dari pasangan alm. Y. Yuhana Sulaiman dan Rd. Sarah Solihati. Baginya: menulis puisi, Cerpen, esai, artikel kebudayaan, naskah drama, naskah sinetron dan film adalah keisengannya yang menjadi kebiasaan disenggang waktu, –dalam menghabiskan sisa umur atas karunia-Nya. Sempat jadi redaktur khusus di majalah Seni & Budaya “Suara Cangkurileung Bandung” dari tahun 2002-2004 dan kameramen “Magang” di Pusat pendokumentasian Audio Visual STSI Bandung. Pada tahun 2007, bekerja sebagai skrip & director di taZtv. Tahun 2008, sebagai pembina kesenian, program DISBUDPAR JABAR gawe bareng PUSLITMAS STSI Bandung, merevitalisasi Angklung Badud yang sudah hidup ± 130 tahun. Adapun tulisan prosanya tersebar dan hadir diberbagai terbitan mass-media, baik nasional, daerah, maupun lokal. Alumni STSI (non semester) Bandung pada Jurusan Teater, –Program Studi Penulisan. Adapun antologi puisinya yang telah terbit diantaranya: Orasi Kue Serabi (GKT 2000) Bandung dalam Puisi (YJBS 2001, 2002) Enam Penyair meminum Aspal (SST 2002) Poligami (SST 2003) “antologi penyair Jawa Barat-Bali” ROH (bukupop 2005) dan beberapa Antologi puisi lainnya. Adapun novelnya yang akan segera terbit dengan judul HypoCritE & Sekeranjang Cinta. Kini beliau menjabat sebagai Presiden Komunitas mEdoMe Bandung, Ketua Umum Indonesia Bangkit Persada Enterprise Tasikmalaya dan Instruktur Teater Dongkrak Tasikmalaya. ***

Lebih Lanjut..